Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup
Gus
Usup bukanlah orang biasa. Kami menghormatinya sebagaimana kami menghormati orang-orang
terhormat. Penghormatan terhadap Gus Usup telah dilakukan para tetua sehingga
tak ada alasan buat kami untuk tidak berlaku hormat padanya. Ketika dia
melintas di jalan, orang-orang menyapanya dengan penuh rasa hormat, sedikit
membungkukkan badan, menanyakan mau ke mana, hingga mempersilakan mampir ke
rumah. Sebuah kehormatan luar biasa bila Gus Usup berkenan singgah dan
menyeruput kopi yang kami suguhkan. Tentu saja ini jarang terjadi. Gus Usup
menjawab sapaan kami dengan tersenyum sambil terus mengayuh sepedanya.
“Assalamu’alaikum, Gus,” begitulah kami
menyapa ketika beliau lewat. Salam itu dijawabnya dengan sopan pula.
“Mampir dulu, Gus.”
“Inggih, terima kasih,” jawabnya lembut.
Gus Usup bukanlah orang
sembarangan. Itulah pandangan kami selama ini. Karenanya kami sebagai orang
biasa tidak pernah memperlakukannya secara sembarangan pula. Kami tidak pernah
menggunjing tentangnya. Segala yang terkait dengan Gus Usup kami anggap sebagai
sesuatu yang wajar. Tidak ada prasangka buruk sekecil biji zarah pun terhadap
Gus Usup. Sikap dan pembicaraan para orang tua kami seakan memberi contoh bahwa
begitulah yang harus kami lakukan terhadap Gus Usup, termasuk kepada saudaranya
seperti Gus Man, Gus Mak, Gus Roz, dan Gus Zin. Kami memang memanggil dengan sapaan
“gus” untuk laki-laki keluarga pondok. Di antara mereka itu hanya Gus Usup yang
bergaul akrab dengan siapa saja.
Gus Usup terbilang
tampan. Wajah dan kulitnya kuning bersih. Rambutnya selalu dipotong pendek.
Karena tak pernah memakai kopiah, rambut bagian depan yang agak panjang
terlihat ikal menggelombang. Alisnya cenderung tebal. Dia tak pernah memelihara
kumis dan jenggot, tapi tepat di bagian bawah bibirnya terdapat rambut yang
dibiarkan tumbuh hingga membentuk gerumbul yang manis di wajahnya. Sering dia
mengangkat ujung sarung hingga sebatas dengkul saat berjalan. Bulu-bulu
keriting kelihatan tumbuh lebat di kakinya yang kuning. Mungkin karena
ketampanannya itulah Gus Usup menjadi anak kesayangan Bu Nyai.
“Sejak anak-anak, Gus
Usup itu suka main dengan anak-anak kampung,” cerita Guk Mat sebagai teman
sepermainannya.
“Apa kesukaannya, Guk?”
kami bertanya.
“Menghanyutkan diri
dengan rakit dari batang pisang, lalu mandi bersama-sama di Kali Dam sambil
belajar renang gaya sungai,” lanjut Guk Mat sambil memperagakan renang gaya
sungai. “Gus Usup juga suka mencari batu-batu kecil di dasar sungai.”
“Untuk apa batu?”
“Katanya itu batu
akik.”
“Kalau ketahuan
keluarga pondok, Gus Usup dimarahi apa nggak, Guk?”
Guk Mat tersenyum.
Sepertinya dia memang punya kenangan masa kecil yang seru dengan Gus Usup.
“Ya, sering. Gus Man
itu, kakaknya yang paling besar, sering mencarinya. Gus Usup diseret pulang
kalau ketahuan mandi di sungai. Makanya kalau habis mandi Gus Usup nggak berani
langsung pulang.”
“Kenapa, Guk?” kami
makin ingin tahu.
“Kalau habis mandi di
sungai mata pasti merah warnanya. Makanya kalau pulang harus nunggu lama sampai
nggak merah lagi. Tapi itu dulu,” kata Guk Mat. “Sekarang Kali Dam sudah
tercemar sampah dan limbah.”
Inilah satu kebiasaan
lain Gus Usup. Kami hampir selalu melihat dia menggigit-gigit benda kecil
semacam tusuk gigi hingga kedua rahangnya bergerak-gerak. Sering dia menggapai
ranting-ranting kecil ketika berjalan, atau bagian-bagian tertentu dari pagar
bambu di tepi jalan yang dilewatinya untuk digigit-gigit menggantikan yang
telah habis di bibirnya. Mohon maaf kalau perumpamaan kami tidak tepat.
Kesukaan Gus Usup menggigit-gigit lidi itu mirip kebiasaan burung labet yang hendak bersarang.
Seperti yang sering
kami lihat, pagi itu tampak Gus Usup berjalan meniti pematang di jauh sana. Dia
kembali pulang setelah semalam bermain kartu remi dengan orang-orang kampung di
sebelah timur, di rumah Wak Parmin dekat kuburan. Rumah Gus Usup di lingkungan
pondok dengan kampung kami memang dipisah oleh bentangan sawah. Kami tetap tahu
meski dia berjalan sambil sarungnya diangkat hingga menutup kepala. Bila Gus
Usup tidak pulang, Fadilah, keponakannya, sering mencari di pojok kampung
tempat dia bermain kartu.
Meski umurnya terbilang
lebih dari cukup, Gus Usup belum menikah. Guk Mat, teman sepermainan Gus Usup
itu, sudah memiliki tiga orang anak. Tapi Gus Usup belum ada tanda-tanda mau
menikah. Dulu kabarnya dia akan dijodohkan dengan Ning Sokhifah, anak Gus Bay
dari pondok utara, tapi tak ada kelanjutannya. Justru Ning Sokhifah malah
menikah dengan Gus Roz, adik Gus Usup dari ibu yang berbeda. Entah mengapa Gus
Usup belum menikah, padahal kalau dia mau, tinggal memilih bidadari di kampung
kami yang paling cantik pasti terkabul. Kami tahu hampir semua gadis di sini
ingin jadi menantu keluarga pondok. Para gadis pun diam-diam berusaha
menampakkan diri ketika Gus Usup yang tampan itu lewat. Tapi memang begitulah
adanya. Keluarga pondok biasanya mengambil menantu juga dari keluarga pondok
yang lain, meskipun antarmereka masih memiliki hubungan kerabat. Tapi sayang,
hubungan antarpondok sekarang banyak yang kurang akrab karena para pengasuhnya
terlibat dukung-mendukung partai politik yang berbeda. Mereka bahkan bersaing
tidak sehat dalam pencalonan anggota parlemen maupun kepala daerah. Syukurlah
hingga detik ini Gus Usup tidak termakan godaan partai politik hingga bisa
bergaul dengan siapa saja.
Sebagai teman
sepermainan Gus Usup, Guk Mat bekerja di pabrik gula. Tapi pekerjaan Gus Usup
tidak terlalu jelas buat kami. Yang pasti Gus Usup rajin ke sawah, baik yang
berada di belakang pondok maupun di sebelah utara kampung. Segala yang ditanam
Gus Usup tumbuh dengan baik. Bila musim kemarau, tanaman terong, lombok, serta
tomat berbuah dengan lebat. Saat malam, ketika kami berburu jangkrik sambil
membawa obor, terong-terong itu sering kami curi untuk dimakan mentah-mentah,
meski banyak juga di antara kami takut kalau terkena sesuatu setelah makan
terong Gus Usup.
“Perutmu bisa mlembung kalau nyolong terong Gus Usup,” kata Guk
Mat menakut-nakuti kami.
Seperti diceritakan
oleh Guk Mat, dulu waktu mandi Gus Usup suka mencari batu akik di dasar sungai.
Dan itulah yang paling menjadi perhatian bagi kami: cincin akik yang melingkar
di jari manis Gus Usup. Batu akik sebesar ibu jari itu bermotif sisik naga,
berwarna cokelat dengan ornamen seperti sisik yang saling menindih. Saat
bermain kartu, terutama ketika malam menjelang ada orang hajatan di kampung,
akik sisik naga Gus Usup itu hampir pasti menjadi pembicaraan. Dengan memakai
akik itu konon Gus Usup tidak pernah kalah dalam bermain kartu. Kalau toh kalah
dengan taruhan uang kecil-kecilan, kata orang itu sengaja mengalah demi
menyenangkan lawan mainnya seperti Guk Mat, Guk Pin, Wak Parmin, Wak Rokemat,
Kang Marsud, Kang Maskut, Kang Gangsar, Cak Kamal, Cak Nan, dan beberapa orang
lainnya.
Mungkin karena sering
mendengar cerita soal akik Gus Usup, tidak sedikit yang berusaha mendekat
sambil menuding-nuding akik itu, terutama mereka yang berumur belasan tahun.
Gus Usup hanya tersenyum sambil tetap bermain kartu remi di acara hajatan
warga.
“Kalau pegang
kamu nggak bisa kencing dan berak,” kata Gus Usup.
“Masak, Gus!?”
Salah satu dari mereka, Dulah namanya, terjingkat.
“Lo, beneran.
Nggak bohong ini,” ujar Gus Usup kalem sambil tersenyum.
“Demi Allah,
Gus?”
“Demi Allah,” Gus
Usup manggut-manggut.
Mendengar jawaban Gus
Usup tiba-tiba semuanya terdiam. Tergambar perasaan takut pada wajah mereka.
Mereka agak menjauh. Tapi Dulah kembali nyeletuk, “Musyrik itu, Gus. Masak
pegang aja nggak bisa kencing dan berak?”
“Kamu nggak percaya?”
tanya Gus Usup sambil meletakkan sebuah kartu remi ke deretan di depannya.
“Masak?”
“Buktikan saja kalau
berani,” Gus Usup tersenyum sambil mengulurkan lengan kirinya, sementara kartu
reminya dipindah ke tangan kanan. “Kalau tidak terbukti nanti saya beri uang
kamu.”
“Saya berani,
Gus. Bismillaahir rahmaanir rahiim.”
Dulah pun menyentuhkan ujung telunjuknya ke akik Gus Usup, agak sedikit gemetar
tapi berani.
“Sudah?” tanya
Gus Usup.
“Sudah, Gus. Nggak
apa-apa kan?”
“Ayo, sambil
memegang sekarang kamu kencing dan berak di sini!”
“Wah ya nggak
mau, Gus….”
“Nggak bisa kan?
Tadi saya bilang kalau pegang. Kalau ke WC berarti sudah tidak pegang.”
Semua yang hadir
tertawa. Dulah cengar-cengir. Beberapa saat setelah itu giliran Gus Usup
mengambil sebuah kartu remi yang tertumpuk di depannya, ditepuk-tepuk dulu
punggung kartu itu dengan jemari yang dihiasi sisik naga, digeser, diletakkan
di depannya, kemudian diintip pelan-pelan dari sudutnya.
“Ngandang!” kata Gus Usup sambil membuka
semua kartu di tangannya dengan cekatan, diletakkan di lantai. Benar, kali ini
dia memenangkan permainan. Diraupnya uang recehan yang menumpuk di tengah
karena sudah lima kali putaran belum ada yang memenangkan. Yang lain cuma manggut-manggut
kecut. Dengan sigap Gus Usup kembali mengocok tumpukan kartu dan membagikan
kepada para pemain.
“Sisik naga dilawan,”
kata Cak Nan sambil meraih gelas kopi.
“Giliranku menang.” Wak
Marsud menepuk-nepuk sisik naga di jari Gus Usup. Gus Usup hanya tersenyum.
“Habis recehan saya,
Gus,” kata Guk Mat.
“Masih sore kok sudah
habis,” Gus Usup menimpali. “Tukarkan!”
Semua yang bermain
mengerti apa yang dimaksud Guk Mat. Mereka berharap Gus Usup membagikan kembali
uang yang telah dimenangkan. Dan memang demikianlah. Mereka yang bermain dengan
Gus Usup boleh dibilang tak pernah kalah atau merugi. Mungkin juga tak pernah
benar-benar menang. Di akhir permainan, atau ketika lawannya sudah kehabisan
uang, Gus Usup akan memberikan kembali uang itu. Mereka lama-lama merasa
sungkan. Ketika Gus Usup kalah dan kehabisan uang, mereka pun memberikan
kembali uang modal kepada Gus Usup. Akik sisik naga di jari manis Gus Usup
akhirnya menjadi harapan mereka, karena kalau Gus Usup menang pasti uangnya
akan dibagikan kembali.
Dulu, ketika kami
belajar mengaji dan berlatih bela diri di pondok, akik sisik naga Gus Usup juga
menjadi perhatian. Kami berlatih tenaga dalam. Untuk mengujinya, salah seorang
di antara kami harus nyetrum, sejenis
trans tapi masih dalam kesadaran utuh sebagai penyerang. Gus Usup dengan
enaknya berkata kepada kami sambil meletakkan akik sisik naganya di lantai.
Kami tahu, akik itu sudah diisi oleh Gus Usup dengan bacaan tertentu.
“Silakan nyetrum, datangkan semua kekuatan dan ambillah
ini!”
Benar, kami semua
terpental. Tak seorang pun yang berhasil mengambil akik itu meski seluruh
tenaga dalam sudah kami datangkan saat nyetrum.
Isian akik itu benar-benar berat. Gus Usup tak pernah membuka rahasianya. Entah
ayat atau asmaul husna apa
yang dibacakan. Kami makin hormat dengan Gus Usup.
Gus Usup sepertinya
juga tahu walau tidak melihat. Ini terbukti saat kami salat berjamaah waktu
belajar mengaji di pondok dahulu. Seperti biasa, kami yang waktu itu masih
anak-anak suka bergurau, saling menggoda, tertawa cekikikan dan saling mendorong saat
salat. Kami memang berada di saf atau baris paling belakang. Nah, begitu salam
pertanda salat usai, tiba-tiba Gus Usup dari saf terdepan bangkit menghampiri
kami. Mereka yang bergurau saat salat digebuki dengan sajadah. Gus Usup
ternyata tahu persis siapa yang bergurau dan siapa yang tidak. Sejak itu kami
tidak berani lagi bergurau saat salat, terutama kalau ada Gus Usup.
Kadang-kadang di antara kami ada juga yang mbeling, berharap Gus Usup tidak ada sehingga bisa
sedikit gurauan, saling mencubit dan dorong-dorongan ke samping waktu salat
berjamaah. Bagi kami saat itu, salat berjamaah adalah saat yang tepat untuk
usil dan menjahili teman. Karena itulah salah seorang teman yang mbeling, Muhdlor namanya, pernah
diselentik kupingnya oleh Gus Usup dari belakang. Saat itu Muhdlor memasukkan
pemukul kentongan ke sarung teman yang sedang sujud di depannya. Muhdlor tidak
tahu kalau Gus Usup baru datang di belakangnya. Saat pulang dari mengaji
Muhdlor kami kapok-kapokkan sepanjang perjalanan hingga dua hari dia tak berani
ke pondok.
Uang recehan Guk Mat
sudah benar-benar habis. Beberapa kali putaran dia tidak pernah memenangkan
permainan kartu remi itu. Gayanya membanting kartu sudah tampak bahwa dia agak
kesal karena belum pernah nyirik.
Sementara dia melihat di depan Gus Usup uang recehan mengumpul sebagai bukti
kemenangan. Tiba-tiba Gus Usup pamitan ke belakang. Dia minta permainan
dilanjutkan saja. Hari memang semakin beranjak malam. Semua pemain juga sudah pernah
pamit ke belakang untuk kencing. Dengan sedikit terburu-buru Gus Usup masuk
kembali dan melemparkan jaketnya ke Guk Mat.
“Titip sebentar, biar
tidak basah!” kata Gus Usup.
Jaket tentara warna
hijau yang sudah memudar itu berada di pangkuan Guk Mat, baunya apak kayak
karung karena mungkin sudah lama tak dicuci. Permainan berlangsung terus meski
harus melangkahi giliran Gus Usup. Sampai satu putaran usai Gus Usup belum juga
kembali. Entah mengapa kali ini lama. Dari tadi memang Gus Usup tampak kurang nyaman
sambil memijit-mijit perutnya.
“Mumpung tak ada Gus
Usup. Menang!” kata Guk Mat dengan yakin.
“Aku yang harus
menang,” Cak Kamal menimpali.
“Jangan mulai dulu.
Kita tunggu Gus Usup datang,” usul Cak Nan.
“Kan kita disuruh terus
tadi?” Kang Marsud ingin berlanjut.
“Gak enak ah!” sergah
Cak Nan.
“Lanjuuut…!” Guk Mat
tak mau membuang-buang waktu. Kartu remi itu dikocok dengan cepat. Diletakkan
di tengah, barangkali ada yang mau mengocok lagi karena tidak puas. Tidak ada.
Guk Mat segera membagikan kartu itu satu per satu. Permainan pun berlanjut.
Ketika semua asyik mencermati kartu, Gus Usup muncul dan pamitan pulang dengan
terburu-buru. Tanpa menunggu tanggapan dia langsung pergi dengan mengucapkan
satu kalimat pendek, “Perutku nggak enak.” Uang recehannya juga ditinggal.
Kepulangan Gus Usup
membuat para pemain bersemangat untuk memenangkan. Cuaca malam makin dingin.
Guk Mat baru tersadar bahwa jaket Gus Usup masih di pangkuannya. Tanpa berpikir
panjang dia memakainya untuk menghangatkan badan. Kepulangan Gus Usup membuat
peluang mereka untuk menang makin besar karena musuhnya berkurang satu orang.
Kali ini benar-benar tampak serius di wajah mereka. Mata mereka melihat ke
lantai ketika ada kartu yang dibanting. Setiap ada kesempatan mengambil kartu
selalu dibarengi harapan agar bisa ngandang alias
menang. Cara mereka membuka kartu juga sangat hati-hati, ditarik ke depannya
dan diintip pelan-pelan dari pojok. Membuka kartu adalah membuka nasibnya
sendiri. Tumpukan kartu di depan mereka juga makin menipis, seperti gundukan
pasir yang makin lama makin tipis karena disapu angin.
“Nutup!” kata Guk Mat
tiba-tiba, sembari membuka kartunya ke lantai. Uang recehan yang menumpuk di
tengah itu disiriknya.
Dia pun bergegas meraup kartu untuk dikocok ulang. Darah baru tampak merambat
di wajahnya.
Tanpa kehadiran Gus
Usup permainan bukan makin mengendor, tapi makin bersemangat. Hari makin malam
dan masuk ke dini hari. Mereka tidak lagi bertaruh dengan recehan, uang kertas
yang tadi hanya ngendon di saku kini keluar dengan warna-warninya. Permainan
kali ini bukan sekadar cari hiburan atau menghabiskan waktu, tapi benar-benar
mempertaruhkan nasib untuk meraih kemenangan. Putaran demi putaran berlangsung.
Meski tidak sama kadarnya, rata-rata dari mereka sudah pernah memenangkan dari
putaran-putaran sebelumnya. Lihatlah, uang-uang kertas tampak di depan mereka.
Di depan Guk Mat tampak lebih banyak karena dia lebih sering nyirik. Recehan tidak lagi bermakna,
bahkan disisihkan.
Tiap rentetan peristiwa
pasti mencapai puncaknya. Titik kulminasi terjadi bukan tiba-tiba, tapi
mengalir dengan pasti, seperti suhu pada tungku pembakaran yang mendidihkan
air. Begitu juga permainan kartu kali ini. Mereka yang kehabisan modal telah
tersingkir. Tidak ada lagi pembagian recehan seperti kalau bersama Gus Usup.
Kopi-kopi di tempatnya sudah tinggal ampas dan memadat. Ayam berkokok sudah
terdengar. Mungkin sebentar lagi beduk subuh ditabuh. Di arena permainan itu
menyisakan tiga orang: Guk Mat, Cak Kamal, dan Kang Marsud. Mereka yang
tersisih kini sebagai penonton saja. Sudah lima putaran belum ada yang
memenangkan. Sementara tiap ganti putaran uang taruhan selalu ditambahkan.
“Sudah, ini yang
terakhir!” kata Kang Marsud ketika memulai lagi permainan.
“Oke, yang terakhir.
Ini semua!” Cak Kamal mendorong semua uangnya ke tengah. Tanpa sisa.
Mau tak mau semua harus
menambah taruhan sebesar yang disodorkan Cak Kamal. Uang Kang Marsud ternyata
tak cukup. Terpaksa harus ditambah dengan recehan yang tadi ditinggalkan Gus
Usup di dekatnya.
“Pinjam, Gus,” kata
Kang Marsud sambil menghitung recehan.
Inilah pertaruhan nasib
di titik-titik akhir. Sudah tak ada lagi taruhan yang ditambahkan.
Dompet-dompet sudah terkuras. Tampak mereka makin berkonsentrasi. Kartu yang
dibawa juga makin rapat dirahasiakan agar tidak diintip oleh lawan. Cara mereka
membanting kartu juga makin keras. Setiap kartu yang dibanting selalu diikuti
oleh pandangan mereka. Selalu waswas, jangan-jangan kartu yang dicari sudah
terbanting di arena. Mereka yang menonton juga berharap cemas. Ingin tahu siapa
yang berhasil meraup uang yang menumpuk di tengah arena itu.
Seperti juga memancing.
Ada debaran dan harapan agar ikan segera menggondolnya. Ikan itu kali ini tidak
lain adalah kartu remi. Mata mereka makin membuka. Jantung mereka makin
mendebar. Alir darah mereka juga makin menderas. Beberapa putaran kartu-kartu
yang mereka buru juga belum ketemu. Sepertinya mereka saling mengetahui
kartu-kartu yang diburu sehingga dicengkeram makin rapat. Waktu makin merambat
dengan pasti. Kokok ayam makin kerap terdengar.
“Nah, ngandang!” kata Guk Mat dengan cepat.
Semua kartu yang dipegangnya dibanting ke lantai dengan terbuka. Semua mata
spontan ikut menatap. Benar! Guk Mat memenangkan permainan. Wajahnya tampak
berbinar-binar. Darah segar sepertinya langsung menderas ke tubuhnya. Gunungan
uang di tengah arena langsung diraupnya mendekat. Sementara Kang Marsud dan Cak
Kamal melemas karena pertaruhan nasib semalam suntuk harus berakhir dengan
pahit. Ketidakhadiran Gus Usup telah membuat dompetnya terkuras. Mereka berdua
percaya, sebentar lagi istrinya ngomel-ngomel karena tak kebagian uang belanja.
Permainan pagi itu pun bubar.
Sesampai di rumah
Guk Mat langsung masuk kamar. Uang yang tadi digembol dalam perut jaket segera
dikeluarkan. Lembar demi lembar menggumpal dengan warna-warna campuran. Sekian
banyak rupiah dari banyak orang telah mengumpul di tangan Guk Mat. Dia ingin
menghitung cepat-cepat dan menyembunyikan agar tidak ketahuan istrinya.
Guk Mat teringat, di
tengah permainan tadi dia juga sempat menyembunyikan uang kemenangan di saku
jaket Gus Usup yang dipakainya. Uang itu segera dikeluarkan. Ah, jumlahnya
makin banyak pula. Kantong saku jaket sebelah kiri telah dirogohnya. Kini dia
berganti merogoh saku jaket sebelah kanan. Terasa ada benda aneh di tangannya.
Segera dikeluarkan. Guk Mat terjingkat. Sisik naga! Akik Gus Usup itu ternyata
ikut tertinggal di saku jaketnya. Entah ini disengaja atau tidak oleh Gus Usup.
Mata Guk Mat tak berkedip melihatnya. Ada getaran di jemarinya.
Tangan Guk Mat belum
juga berubah. Akik sisik naga milik Gus Usup itu terus diperhatikan di kedua
ujung jarinya. Dia mulai berpikir, apakah kemenangan terbesar yang diraupnya
kali ini terkait dengan akik sisik naga di sakunya? Dia sadar bahwa benda itu
milik Gus Usup, tapi lama-lama timbul keinginan pada diri Guk Mat untuk
memiliki sisik naga itu. Guk Mat terpaku di atas dipan kamarnya. Uangnya
masih menggelasah di
tikar. Guk Mat menimbang-nimbang, cara apakah yang paling ampuh agar sisik naga
itu terus berada di genggamannya?
Jombang-Surabaya, 2016
https://basabasi.co/sisik-naga-di-jari-manis-gus-usup/
Analisis kritik/ esai
dalam cerpen “Sisik
Naga di Jari Manis Gus Usup”
Penulis : M. Shoim Anwar
Cerpen “Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup” memiliki
banyak paragraf. Tema dari cerpen tersebut adalah memiki kehidupan yang ingin
menang sendiri , selalu ingin bersikap baik pada semua orang di kehidupan dunia
dan akhirat. Tokoh dari cerpen tersebut
adalah Gus Usup, Gus Man,
Gus Mak, Gus Roz, dan Gus Zi. Watak Gus Usup adalah seorang
yang baik hati, sederhana, dan tidak pernah sombong kepada semua orang. Latar
setting dari cerpen tersebut ada tiga yaitu latar tempat di Kali Dam, dasar sungai. Latar waktu : pagi hari, siang
hari, dan latar suasana tersebut menggambarkan kesediha, kegembiraan. Pada cerita
tersebut terdapat alur maju,mudur, cerita tersebut sangat kompleks. Awal hingga
ending sesuai dengan yang di harapkan. Amanat dalam cerpen tersebut jangan pernah
mengambil barang yang bukan milik hak kita karena itu perbuatan syetan atau
tercela.
Dalam kutipan cerpen
“Sisik
Naga di Jari Manis Gus Usup” yaitu bahwa ada seorang kyai atau gus yang sangat
hebat. Dia pandai dalam ilmu agama, ilmu spiritual. Memiliki nilai moral yang
sangat baik. selain itu, gus usup
juga orang yang senang bercanda hal itu terbukti bahwa gus usup mengatakan siapapun
yang memegang akik sisik naga maka orang yang memegang tersebut tidak bisa
buang air kecil dan berak.
Dalam kandungan makna isi cerpen “Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup” yaitu mempunyai ilmu keagamaan yang sangat
baik. Gus usup adalah sosok kyai yang mempunyai etika baik, mampu mengajarkan
beribadah untuk meningkatkan iman kepada Allah SWT tetapi selalu salah untuk
memainkan kartu taruhan yaitu uang. Selain itu, Gus Usup juga orang yang senang bercanda hal itu terbukti
bahwa Gus Usup mengatakan siapapun yang memegang akik sisik naga maka orang
yang memegang tersebut tidak bisa buang air kecil dan berak.
Cerpen
“Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup” berkaitan dengan kehidupan nyata, bahwa kita sebagai manusia tetap harus
mengingat dengan kehidupan di dunia dan di akhirat. Dalam cerpen tersebut memiliki dampak positif
yaitu selama di dunia kita harus melaksanakan perintah tuhan dengan benar, seperti beribadah kepada Allah SWT dan
memperbanyak amal sholeh. Dampak negatif yaitu Guk Mat ingin mempertahankan
kemenangannya pada saat sedang main kartu remi tetapi dengan bisa memiliki akik
sisik naga milik Gus Usup. Namun kegiatan mistis tersebut tidak boleh dilakukan
karena bisa dapat membuat orang lain susah dan sedih kehilangan benda miliknya.
Jadi, jangan sampai kita mengambil barang milik orang lain untuk kebutuhan pribadi.
Hal itu sangat berdosa dan termasuk dalam perbuatan tercela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar