CERPEN KORAN
MINGGU
Kompas-Republika-Jawa
Pos-Suara Merdeka-Koran Tempo-Media Indonesia dan Lainnya
Tahi Lalat
Cerpen M Shoim Anwar (Media Indonesia, 19 Februari 2017)
Tahi Lalat ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
ADA tahi lalat di dada istri Pak Lurah. Itu kabar yang
tersebar di tempat kami. Keberadaannya seperti wabah. Lembut tapi pasti.
Mungkin orang-orang masih sungkan untuk mengatakannya secara terbuka. Mereka
menyampaikan kabar itu dengan suara pelan, mendekatkan mulut ke telinga
pendengar, sementara yang lain memasang telinga lebih dekat ke mulut orang yang
sedang berbicara. Mereka manggut-manggut, tersenyum sambil membuat kode gerakan
menggelembung di dada dengan dua tangan, lalu menudingkan telunjuk ke dada
sendiri, sebagai pertanda telah mengerti.
“Awas, ini rahasia. Jangan bilang siapa-siapa!” kata Bakrul
memulai pembicaraan sambil mendekatkan telunjuknya ke mulut.
“Di sebelah mana?” aku mengorek.
“Di sebelah kiri, agak ke samping,” jawab Bakrul.
“Besar?”
“Katanya sebesar biji randu.”
Mungkin karena keberadaannya sudah lebih jelas, akhirnya
orang-orang saling memberi kode ketika berpapasan. Bila mereka sedang
bergerombol, dan salah satu sudah memberi kode, yang lain mengacungkan
jempolnya sebagai tanda mengerti. Bagi yang kurang yakin, pertanyaan akan
langsung diteriakkan saat aku lewat.
Karena tak ingin diteriaki terus, aku mengacungkan jempol.
Teriakan itu memicu yang lain untuk keluar rumah, lalu menuju pinggir jalan
tempat aku lewat. Sebenarnya aku tak enak juga mendengar ejekan terhadap
lurahku, meski waktu pemilihan aku tidak mencoblosnya. Maka, sebelum mereka
berteriak, aku mengacungkan jempol terlebih dulu. Tapi karena niatnya mungkin
mengejek, teriakan mereka pun bertambah santer.
Suara truk pengangkut material untuk pembangunan perumahan
menderu-deru di jalan depan rumah yang rusak parah. Debu-debu itu sering
dikeluhkan oleh anakku, Laela, setiap pulang sekolah. Entah mengapa Pak Lurah
dan perangkatnya tak peduli dengan situasi itu. Pak Lurah justru tampak akrab
dan sering keluar bareng dengan mobil pengembang perumahan itu.
“Di luar sana juga ada omongan soal kedekatan istri Pak Lurah
dengan bos proyek perumahan,” aku membuka pembicaraan dengan istri.
“Kedekatan yang gimana lagi?” istriku mendongak.
“Bos proyek itu sering datang saat Pak Lurah tidak ada di rumah.
Katanya juga pernah keluar bareng.”
Bulan depan adalah masa pendaftaran calon lurah atau kepala desa
di sini. Konon Pak Lurah akan mencalonkan kembali untuk periode berikutnya. Tak
ada yang bisa mencegahnya meski janji-janjinya yang dulu ternyata palsu.
“Ada unsur politik juga kayaknya,” kataku pada istri.
“Mengapa istri diikut-ikutkan?” dia mendongak.
“Citra perempuan lebih sensitif untuk dimainkan.”
“Pak Lurah telah menceraikan istrinya yang pertama. Ini istri
kedua. Andai tetap dengan Bu Lurah yang dulu, tak akan tersiar kabar kayak
begini.”
“Bisa jadi berita itu datangnya dari suaminya yang dulu.”
“Lo, Bu Lurah yang sekarang itu masih perawan. Selisih umurnya
katanya dua puluh tahun,” istriku menegaskan sambil menyambut Laela yang baru
pulang sekolah.
Pak Lurah tak pernah berkomentar atas pembicaraan yang
menyangkut istrinya. Kami memilih diam ketika dia lewat. Ini berbeda ketika
yang lewat istrinya. Orang-orang mendehem, pura-pura batuk ketika ada istri Pak
Lurah, tersenyum dan menyapa basa-basi. Tapi, dari arah belakang, mereka
membuat isyarat gerakan gelembung di dada, kemudian menuding-nudingkan telunjuk
ke dada sebelah kiri.
Jujur kukatakan, Pak Lurah juga sering menggunakan cara-cara
kotor. Selama menjabat, tidak sedikit warga yang kehilangan sawah ladang dan
berganti dengan perumahan mewah. Warga yang tinggal di tempat strategis,
melalui perangkat desa Pak Bayan, dirayu untuk menjual tanahnya dengan harga
yang lumayan mahal. Begitu tanah-tanah yang strategis itu terlepas dari
pemiliknya, Pak Lurah semakin gencar membujuk yang lain dengan cara
memanggilnya ke kantor kelurahan.
“Kalau tidak mau menjual, akan dipagari oleh pengembang
perumahan,” begitulah kata-kata intimidasi yang sering dilontarkan Pak Bayan
kepada warga.
“Lama-lama desa ini habis terjual,” kataku pada Pak Bayan.
“Habis gimana?” jawab Pak Bayan enteng.
“Bilang sama Pak Lurah,” aku melanjutkan, “mestinya kehidupan
kami diperbaiki agar makmur. Diciptakan lapangan kerja baru. Bukan mengancam
agar rakyat menjual tanahnya kayak kompeni.”
“Kalau ada perumahan, pasti warga dapat kesempatan kerja.”
“Jadi kuli dan babu!” aku menyergah.
Aku yakin, warga asli sini kelak akan jadi buruh pembersih
rumput dan tukang sapu di wilayah perumahan. Sambil duduk di tanah, mereka
menatap rumah-rumah mewah, dengan badan kurus kurang gizi dan napas kembang
kempis digerogoti usia, mereka akan menuding sambil berkata, “Itu dulu tanah
milik saya. Batasnya dari sana hingga ke sana. Luaaas sekali….”
Semakin mendekati masa pendaftaran calon lurah, berita adanya
tahi lalat di dada istri Pak Lurah semakin santer. Bumbu-bumbu pembicaraan
makin banyak. Pembicaraan tidak hanya tertumpu pada tahi lalat di dada istri
Pak Lurah, tapi meluas hingga sekujur tubuh istri Pak Lurah ditelanjangi.
Aku yakin Pak Lurah dan istrinya sudah mencium kasak-kusuk di
sekitarnya. Mungkin untuk mengamankan pencalonannya kembali sebagai lurah, dia
sengaja memilih diam dengan harapan pembicaraan itu akan menghilang dengan
sendirinya. Tapi, dengan sikap diamnya itu, aku curiga jangan-jangan
pembicaraan itu benar adanya. Kata-kata ‘diam pertanda setuju’ hadir dalam
pikiranku. Memang, Pak Lurah dan istrinya serba salah. Apa pun yang
dikatakannya dijamin tidak akan dapat meyakinkan tanpa bukti fisik.
“Apa tidak mungkin jika salah seorang ibu PKK diminta mendekati
Bu Lurah?” kataku pada istri.
“Untuk apa?”
“Menanyakan kepastian ada tidaknya tahi lalat itu.”
“Terus kalau tidak ada mau apa?”
“Ya biar jelas dong,” jawabku pura-pura lega.
“Terus kalau benar-benar ada?” istriku mengejar lagi.
“Orang-orang akan puas,” aku bergaya manggut-manggut. “Akhirnya mereka kan berhenti ngrasani.”
“Ehmm, untuk apa!” istriku melengos.
Dari awal aku sudah punya pikiran bahwa pembicaraan itu punya
maksud lebih besar. Tidak penting apakah di dada istri Pak Lurah ada tahi
lalatnya atau tidak. Di sebelah kiri atau kanan juga tak penting. Sebesar biji
randu atau sebesar kelapa pun tak masalah. Yang sangat rawan adalah, bila
benar-benar ada, kok sampai ada yang tahu? Siapa pun yang mengetahui tahi lalat
di tempat rahasia itu pasti dia adalah orang yang punya hubungan khusus dengan
istri Pak Lurah. Bila ditafsirkan lagi, perempuan itu sudah menjadi istri Pak
Lurah saat menjalin hubungan khusus dengan orang tadi.
Siang yang terik. Truk-truk pengangkut material menderu-deru
melewati kampung kami untuk menguruk sawah warga yang telah terbeli. Jalan
makin rusak parah. Aku berjalan menyisir di tepi kanan. Dari arah berlawanan
tampak mobil Jeep hitam berhenti. Sepertinya telah lama. Beberapa saat muncul
Pak Bayan dari arah yang sama. Lelaki itu memacu motornya agak kencang. Kami
berpapasan. Pak Bayan tak berkata apa-apa.
Jeep yang tadi berhenti tampak bergerak.
Sepertinya gas ditancap sehingga melaju terguncang-guncang di jalan yang bergeronjal. Debu-debu membalutnya. Terasa ada yang aneh.
Kendaraan itu melaju makin kencang di sisi kanan. Ternyata Jeep itu
menggasakku. Spontan aku meloncat ke seberang parit. Aku tak tahu siapa
pengendaranya. Cuk! Tubuhku terjatuh ke rumpun bambu. Duri-duri tajam menancap
di sana-sini. Aku berdarah-darah.
Sampai di rumah aku masih tak habis pikir, setan keparat mana
yang mengendarai Jeep tadi. Aku mengumpat-ngumpat sendiri. Dari arah depan
terdengar suara Laela pulang dari sekolah. Dia setengah berlari menghampiri aku
dan ibunya.
“Gambarku bagus, ya?” Laela menyodorkan buku gambarnya yang
terbuka.
“Gambar apa ini?” aku bertanya sambil menerimanya.
“Orang.”
Anak perempuanku, kelas dua sekolah dasar, menggambar orang
dengan rambut sepundak. Wajah dan tubuhnya diberi warna cokelat kekuningan.
Bibirnya dibuat merah menyala.
“Ini orang laki apa perempuan?”
“Perempuan,” ia menunjuk ke gambarnya. Dada gambar itu memang
dibuat kayak ada belahannya dengan disanggah angka tiga menghadap ke atas.
“Terus titik besar berwarna hitam ini apa?”
“Itu tahi lalat,” jawab anakku enteng.
“Tahi lalat apa?”
“Tahi lalat di dada istri Pak Lurah.”
“Haaa…??!!!” aku heran dan terhenyak. Istriku juga tampak
terbengong-bengong. Kami saling memandang. Tak bicara apa-apa. Entah bagaimana
ceritanya Laela tiba-tiba menunjukkan gambar perempuan yang bertahi lalat di
dadanya. Persis gunjingan yang hari-hari ini kami dengar.
“Ini tahi lalat di dada istri Pak Lurah…” kembali anakku
menuding gambar yang telah dibuatnya. Kami hanya tersenyum. Kecut dan heran.
2017
catatan:
Di daerah Jawa, istilah kepala desa lazim disebut lurah
M Shoim Anwar, cerpenis
dan peneliti sastra. Hasil risetnya tentang jejak Soeharto dalam sastra
Indonesia memperoleh banyak apresiasi di kalangan akademisi sastra. Buku fiksi
terkininya Kutunggu di Jarwal (2014).
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik
sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media
massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id
Kritik/esai cerpen “Tahi Lalat”
Dari segi makna atau isi cerpen "Tahi Lalat" sebagai berikut :
Cerpen ini menceritakan tentang kehidupan sosial di kampung, Karena menceritakan seorang Lurah tidak adil kepada masyarakatnya dan selalu bertindak sesuai dengan keinginanya. Menceritakan kebiasaan buruk masyarakat kampung karena suka membuat isu dan ngerasani orang padahal belum tentu kebenarannya. Laela, anak kecil yang suka menirukan orang dewasa, apa lagi yang sedang hangat dibicarakan orang-orang. Laela menggambar seorang perempuan yang ada Tahi Lalat hitam di dadanya.
Cerpen "Tahi Lalat" di atas dapat diketahui beberapa kesimpulan kritik esai dari
berbagai aspek, seperti:
1. Tema
Tema yang digunakan
dalam cerpen ini adalah tema tradisional. Bagaimana tradisi di masyarakat atas
kabar atau berita terkini. Hanya dari mulut ke mulut, kabar atau berita
tersebut sudah tersebar luas tanpa diketahui kebenaran aslinya bagaimana.
2. Tokoh/penokohan
Istilah
tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Tokoh cerita menempati posisi
sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat atau sesuatu yang sengaja ingin
disampaikan kepada pembaca.
Penggambaran tokoh
dalam cerita ini bukan sebagai pelaku utama melainkan pelaku sampingan. Karena
tidak disampaikan siapa pelaku hanya sebagai pokok pembicaraan. Tetapi yang
menjadi tokoh utama justru pelaku sampingan.Di luar sana juga ada omongan soal
kedekatan istri Pak Lurah dengan bos proyek perumahan, aku membuka pembicaraan
dengan istri.
Dari kutipan di atas
menunjukkan bahwa pelaku sampingan menceritakan bagaimana pelaku utama. Pelaku
utama hanya sebagai bahan pembicaraannya saja.
3. Latar
Penempatan letak
waktu, tempat, dan keadaan dalam sebuah karya tulis. Ada beberapa unsur
yang digambarkan dalam cerpen ini, seperti :
Waktu :
Siang yang terik.
Truk-truk pengangkut material menderu-deru melewati kampung kami untuk menguruk
sawah warga yang telah terbeli. Jalan makin rusak parah. Aku berjalan menyisir
di tepi kanan. Dari arah berlawanan tampak mobil Jeep hitam berhenti.
Sepertinya telah lama. Beberapa saat muncul Pak Bayan dari arah yang sama.
Lelaki itu memacu motornya agak kencang. Kami berpapasan. Pak Bayan tak berkata
apa-apa.
Dari kutipan di atas,
latar waktu yang diambil adalah siang hari. Kata pertama di awal kalimat
tersebut.
Tempat :
Sampai di rumah aku
masih tak habis pikir, setan keparat mana yang mengendarai Jeep tadi. Aku
mengumpat-ngumpat sendiri. Dari arah depan terdengar suara Laela pulang dari
sekolah. Dia setengah berlari menghampiri aku dan ibunya.
Dari kutipan di atas, karya tulis ini mengambil latar tempatnya ada yang di
rumah.
Keadaan atau suasana :
Ada tahi lalat di dada
istri Pak Lurah. Itu kabar yang tersebar di tempat kami. Keberadaannya seperti
wabah. Lembut tapi pasti. Mungkin orang-orang masih sungkan untuk mengatakannya
secara terbuka. Mereka menyampaikan kabar itu dengan suara pelan, mendekatkan
mulut ke telinga pendengar, sementara yang lain memasang telinga lebih dekat ke
mulut orang yang sedang berbicara. Mereka manggut-manggut, tersenyum sambil
membuat kode gerakan menggelembung di dada dengan dua tangan, lalu menudingkan
telunjuk ke dada sendiri, sebagai pertanda telah mengerti. Dari kutipan di
atas, isi cerita menyampaikanbahwa suasana yang ditonjolkan adalah suasana
heboh dan ramai akibat berita simpang siur yang tidak jelas datangnya darimana.
4. Alur
Alur pada cerita ini menggunakan alur maju,
sebab ceritanya dari awal hingga akhir berkelanjutan mulai dari terdengarnya
kabar angin itu hingga diakhir dengan kabar angin pula.
5. Sudut pandang
Pada cerpen ini,
penulis mengambil sudut pandang tidak langsung. Karena penulis menuliskan
sebuah kisah atas apa yang dia dengar dari sebuah kejadian.
6. Gaya bahasa
Dari beberapa kalimat
yang terdapat dalam penggalan cerita di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa
yng digunakan dalam karya ini banyak mengandung kalimat konotasi. Bahasa bukan
sebenarnya. Terlihat lebih terbuka dari segi penyampaian maknanya. Biasanya
bahasa yang digunakan ini, bisa menimbulkan tanda tanya bagi yang membacanya
dengan mata telanjag. Tetapi karya tulis ini bisa dikategorikan menarik, sebab
bahasanya yang dapat memikat seseorang untuk mencari tau akibat rasa penasaran.
7. Amanat
Pada cerpen ini, ada
beberapa pesan atau amanat yang dapat ditarik, yaitu:
Jangan pernah mengambil suatu keputusan dari apa yang baru di dengar jika belum
diketahui kejelasannya.Jangan mudah percaya atas segala kabar yang belum jelas arahnya.
Kelebihan
dan kekurangan cerpen Tahi Lalat :
Kekurangan: banyak kata yang terlalu membuat orang tersakiti dan menceritakan privasi yang belum juga benar. Kelebihan: cerpen ini sangat dipahami dan menarik untuk dibaca, Karena isi cerpen ini
menceritakan tentang sisi buruk pemimpin dan fakta orang kampung.
Dari cerpen "Tahi Lalat" diatas jika dikaitkan dengan kehidupan sekarang yaitu jangan pernah menceritakan privasi orang lain yang belum tentu saja benar, dan jangan mudah percaya terhadap orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar