Kamis, 25 Maret 2021

Mengkaji puisi “Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah”

 

     “Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah”   

                               Puisi: M Shoim Anwar

 

Ulama Abiyasa adalah guru yang mulia

panutan para kawula dari awal kisah

ia adalah cagak yang tegak

tak pernah silau oleh gebyar dunia

tak pernah ngiler oleh umpan penguasa

tak pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah

tak pernah gentar oleh gertak sejuta tombak

tak pernah terpana oleh singgasana raja-raja

 

Ulama Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah

marwah digenggam hingga ke dada

tuturnya indah menyemaikan aroma bunga

senyumnya merasuk hingga ke sukma

langkahnya menjadi panutan bijaksana

kehormatan ditegakkan tanpa sebiji senjata

 

Ulama Abiyasa bertitah

para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya

tak ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa

menjadikannya sebagai pengumpul suara

atau didudukkan di kursi untuk dipajang di depan massa

diberi pakaian dan penutup kepala berharga murah

agar tampak sebagai barisan ulama

 

Ulama Abiyasa tak membutuhkan itu semua

datanglah jika ingin menghaturkan sembah

semua diterima dengan senyum mempesona

jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena

sebab ia lurus apa adanya

mintalah arah dan jalan sebagai amanah

bukan untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata

tapi dilaksanakan sepenuh langkah

Penghujung Desember 2020

 

                       Desember 2020

 

 

Dalam puisi “Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah” terdiri atas 4 bait. Tiap bait terdiri atas 8 sampai 12 suku kata. Bait pertama terdiri atas 8 baris, rima a,h,a,h.  Mempunyai makna yaitu seorang Ulama Abiyasa adalah guru yang sangat mulia. Dia seorang panutan para kawula dari awal kisah. Dia juga cagak tulang punggung yang sangat tegak. Tidak pernah silau memancarkan cahaya oleh gebyar dunia. Tidak pernah lelah, ngiler, malas oleh umpan penguasa. Tidak pernah ngesot ke istana untuk memintah jatah. Tidak pernah gentar putus oleh gertak sejuta tombak. Tidak pernah terpana oleh singasana raja-raja.

Bait kedua terdiri atas 6 baris, rima yang berpola h,a,a,a. Tiap bait terdiri atas 8 sampai 12 suku kata.  Dalam puisi tersebut mempunyai makna yaitu seorang Ulama Abiyasa membungkuk, merengkuh dengan teguh hati dan lidah. Marwah menggenggam hingga ke dada. Tutur kata yang indah menyemaikan aroma bunga. Senyumnya merasuk hingga ke sukma raut wajahnya. Langkahnya menjadi panutan yang bijaksana. Mempunyai kehormatan yang ditegakkan tanpa sebiji senjata.

Bait ke tiga terdiri atas 7 baris, rima h,a,h,a. Tiap bait terdiri atas 8 sampai 12 suku kata. Dalam puisi “Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah” mempunyai makna yaitu menceritahkan seorang Ulama Abiyasa bertitah atau bertingkah. Para raja dan penguasa bertekuk atau bersujud hormat padanya. Tidak ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa. Menjadikannya sebagai pengumpul suara atau untuk duduk di kursi untuk dipajang di depan massa. Diberi pakaian dan penutup kepala yang harganya murah. Agar kelihatan sebagai barisan ulama.

Bait ke empat terdiri atas 9 baris, rima h,a,h,a. Tiap bait terdiri atas 8 sampai 12 suku kata. Dalam puisi “Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah” memiliki makna seorang Ulama Abiyasa tidak membutuhkan itu semua. Datanglah jika ingin menghanturkan sembah. Semua diterima dengan senyum mempesona. Jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena. Sebab dia lurus apa adanya. Mintalah arah dan jalan sebgai amanah. Bukan untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata. Tapi dilaksanakan sepenuh langkah. Penghujung Desember 2020.

Pada puisi "Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah” jika dikaitkan dengan kehidupan nyata jangan pernah sombong terhadap orang lain, tidak boleh bertingkah laku yang jelek terhadap semua orang. Bisa membantu semua orang yang mengalami kesulitan dalam masalah kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar