Kamis, 22 April 2021

Kritik dan Esai cepren "Sulastri dan Empat Lelaki"

Fatikhatul Koiroh

175200034

PBI 2017 A

Kritik dan esai cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar

1. Tokoh cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki”:

1.     Sulastri

2.     Lelaki 4 itu bernama suaminya yang bernama Markam  

3.     Musa

4.     Fir’aun

5.     Polisi

2. Watak tokoh cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki:

1.     Sulastri mempunyai watak keras, jahat

2.     Markam mempunyai watak jahat

3.     Musa mempunyai watak baik

4.     Fir’aun mempunyai watak jahat, keras

5.     Polisi mempunyai watak baik, tegas, penuh percaya diri

3. Latar cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki :

a.      Latar waktu : pagi hari, siang hari

b.     Latar tempat : Laut merah,  Lautan Hindia atau Terusan Suez, atau dari negeri di sebelah barat, mungkin Mesir, Sudan, Eritrea.

c.      Latar suasana : terlihat sedih, menegangkan.

4. Alur cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki”:

Alur pada cerita ini menggunakan alur mundur, karena ceritanya dari awal hingga akhir tidak berkelanjutan jadi cerpen tersebut rasa kekecewaan belum nampak jelas.

5. Gaya bahasa cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki”:

     Gaya bahasa pada cerita ini menggunakan majas Personifikasi  yang terletak pada kutipan Ombak besar tak juga datang. Hanya semacam geligir bergerak di permukaan. Udara terasa panas. Butir-butir pasir digoreng matahari. Tak ada peneduh yang berarti. Pantai menyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah tampak sepi.

6. Sudut pandang cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki”:

Pada cerpen ini, penulis mengambil sudut pandang tidak langsung. Karena penulis menuliskan sebuah kisah atas apa yang dia dengar dari sebuah kejadian.

7. Amanat cerpen “ Sulastrih dan Empat Lelaki”:

1. Jika seorang muslim jangan pernah menyembah berhala.

2. Jangan pernah serakah terhadap orang lain.

3. Jangan penah memutuskan kehendak sendiri seperti politik.

 

Makna cerpen “ Sulastri dan empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar menceritakan tentang seorang Sulastri dan empat lelaki diantaranya, suaminya yang bernam Markam,  Musa, Fir’aun,Polisi. Sulastri dan suaminya yang kaya kemudian minta tolong kepada Musa. Sulastri dan suaminya suka menyembah berhala karena ingin mencari keadilan bermain politik. Fir’aun hanya bisa marah dan akhirnya menjadi pasir. Lalu tongkat yang dipegang Musa bersamaan dengan ular datang. Kemudian binatang itu menjadi laut merah.

 

Kritik cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki”

Dahulu kala di laut merah ada matahari yang sangat terik. Ada seorang wanita bernama Sulastrih dan empat lelaki yaitu suaminya yang bernama Markam, Musa, Fir’aun, dan Polisi. Sulastrih dan Markam hidupnya sangat kaya penuh berlimpah harta. Sulastrih mengikuti suaminya yang berpolitik mencari keadilan. Seketika itu Sulastri minta tolong kepada Musa:

“Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta Sulastri.

“Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.

“Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”

“Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”

“Saya seorang perempuan, Ya Musa.”

“Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”

“Negeri kami miskin, Ya Musa.”

“Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”

“Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”

“Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”

“Kami menderita, Ya Musa.”

“Para pemimpin negerimu serakah.”

“Kami tak kebagian, Ya Musa”

“Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”

“Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”

“Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”

“Tolonglah saya, Ya Musa.”

“Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”

“Tolonglah saya, Ya Musa….”

Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.

Sulastri  mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadi dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari anak-anak dan famili. Burung elang melayang tinggi di atasnya, pekiknya melengking ke telinga Sulastri.

Cerpen “ Sulastrih dan Empat Lelaki” nampaknya secara lebih lanjut tidak dijelaskan mengenai rasa kekecewaan yang diterima oleh Sulastrih.

 

Esai cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki”

Dahulu kala di laut merah ada matahari yang sanagat terik. Ada seorang wanita bernama Sulastrih dan empat lelaki yaitu suaminya yang bernama Markam, Musa, Fir’aun, dan Polisi. Sulastrih dan Markam hidupnya sangat kaya penuh berlimpah harta. Sulastrih mengikuti suaminya yang berpolitik mencari keadilan. Seketika itu Sulastri minta tolong kepada Musa:

“Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta Sulastri.

“Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.

“Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”

“Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”

“Saya seorang perempuan, Ya Musa.”

“Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”

“Negeri kami miskin, Ya Musa.”

“Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”

“Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”

“Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”

“Kami menderita, Ya Musa.”

“Para pemimpin negerimu serakah.”

“Kami tak kebagian, Ya Musa”

“Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”

“Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”

“Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”

“Tolonglah saya, Ya Musa.”

“Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”

“Tolonglah saya, Ya Musa….”

            Fir’aun hanya tertawa saja kemudian Musa tiba-tiba muncul lagi di hadapannya. Tapi kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan memeluknya sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun. Saat itu juga Sulastri merasakan ada benda di genggamannya. Makin nyata dan nyata. Benda itu adalah tongkat. Sulastri memegang kuat-kuat dengan kedua tangannya.

Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.

Sulastri  mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadi dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari anak-anak dan famili. Burung elang melayang tinggi di atasnya, pekiknya melengking ke telinga Sulastri.

Kelebihan dan kekurangan cerpen yang berjudul “ Sulastri dan empat Lelaki” :

Kelebihan  cerpen yang berjudul “ Sulastri dan empat Lelaki ini mudah dipahami dan sangat menarik untuk dibaca, Karena isi  cerpen ini menceritakan tentang tentang seorang Sulastri dan empat lelaki diantaranya, suaminya yang bernam Markam,  Musa, Fir’aun,Polisi. Sulastri dan suaminya yang kaya kemudian minta tolong kepada Musa. Sulastri dan suaminya suka menyembah berhala karena ingin mencari keadilan bermain politik. Fir’aun hanya bisa marah dan akhirnya menjadi pasir. Lalu tongkat yang dipegang Musa bersamaan dengan ular datang. Kemudian binatang itu menjadi laut merah.

 Kekurangan dari cerpen tersebut kata-katanya banyak menggunakan perumpamaan dan menceritakan bagian  akhir cerita tersebut tidak digambarkan secara lebih lanjut mengenai rasa kekecewaan  yang diterima oleh Sulastri.

Dari cerpen yang berjudul “ Sulastri dan empat Lelaki”  karya M. Shoim Anwar jika dikaitkan dengan kehidupan sekarang yaitu jika seorang muslim jangan pernah menyembah berhala, jangan pernah serakah terhadap orang lain,  jangan penah memutuskan kehendak sendiri seperti politik.

Jumat, 16 April 2021

Kritik dan esai cerpen "di Jalan Jabal Al-Kaabah"

 

Cerpen Mingguan....

Rabu, 31 Desember 2014

Di Jalan Jabal Al-Kaabah

OLEH M. SHOIM ANWAR

Dari arah Jarwal Al-Tayssir kendaraan itu meluncur mendahului para pejalan kaki yang semakin ramai, melewati Jabal Al-Kaabah Street hingga tembus ke Umm Al-Qura Road. Jalanan menanjak dan beberapa saat kemudian menurun kembali. Suasana mulai terasa berbeda karena lampu-lampu yang menyala. Angkutan itu lantas berbalik arah, menuju jalur di sebelah kirinya untuk menurunkan penumpang di pemberhentian. Bunyi menderu di terowongan bawah tanah Ibrahim Al-Khalil Road. Kendaraan yang datang dan pergi, generator, travo, blower, dan lampu-lampu listrik tegangan tinggi terasa menggetarkan seluruh ruang.

Setelah turun dari angkutan umum, dengan langkah tergesa, Tuan Amali menaiki eskalator. Istrinya, Nyonya Tilah, setengah berlari mengikuti langkah sang suami. Orang-orang pun terburu mengejar waktu. Eskalator itu naik dan menyembul di pelataran sehingga orang-orang tampak seperti muncul dari dalam tanah. Tahu-tahu mereka telah sampai di halaman Masjidil Haram di samping Hotel Dar Al-Tawhid. Tuan Amali dan Nyonya Tilah berjalan di halaman sebelah kiri. Lewat pintu samping mereka lantas naik ke lantai ketiga, melewati pintu nomor 66 bertuliskan Al-Shebyka Escalator. Di lantai teratas tanpa atap itu sudah hamper dipenuhi orang, tapi suasana khusuk sangat terasa. Tuan Amali tertegun sejenak sambil pandangannya menerawang.

“Aku teringat anak-anak cacat yang meminta-minta di jalan sana,” katanya sambil menuding ke arah jalan.

“Ya, sudah agak lama kita tidak memberi mereka,” Nyonya Tilah menimpali.

“Besok kita sempatkan jalan kaki agar bisa memberi.”

“Semoga Allah selalu memberi rezeki buat mereka semua.”

“Siapa tahu mereka adalah malaikat yang diutus Allah untuk menguji rasa belas kasihan kita,” kata Tuan Amali.

Hari-hari terakhir ini Tuan Amali dan Nyonya Tilah naik kendaraan untuk menghemat tenaga. Sebelum itu mereka selalu berjalan kaki saat pulang dan pergi ke Masjidil Haram. Dia selalu melihat deretan anak-anak berkulit hitam duduk di tanah sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang putus pertanda meminta sedekah. Dengan baju lusuh warna gelap mereka menongolkan lengan buntungnya agar dilihat semua orang yang lewat. Mereka hampir selalu muncul selepas Jalan Jabal Al-Kaabah hingga mendekati area masjid. Dengan ekspresi memelas mereka mengharap belas kasihan kepada orang-orang yang lewat. Tuan Amali berpikir anak-anak yang malang itu adalah korban peperangan, atau terkena ledakan bom hingga kedua lengan mereka putus. Kemungkinan lain mereka menderita kelainan genetis akibat pernikahan antar penderita sehingga cacat fisik muncul secara dominan dari bawaan orang tua. Usia mereka, baik yang laki maupun perempuan, sekitar sepuluh tahun ke bawah. Mereka selalu duduk berdekatan sekitar lima anak.

Seperti orang-orang lain Tuan Amali dan Nyonya Tilah juga sering memberikan sedekah kepada anak-anak buntung yang malang itu. Uang sedekah diletakkan dipangkuan mereka. Tentu mereka memperoleh jumlah yang besar karena banyak orang mengasihani dari hari ke hari. Tuan Amali dan istrinya bersedekah dengan penuh keikhlasan mengingat kedatangan ke kota itu juga untuk menjalankan perintah agama. Sedekah yang ikhlas seikhlas-ikhlasnya, ibarat tangan kanan memberi dan tangan kiri tak mengetahuinya.

“Jangan lupa titipan doa dari Pak Mardho,” kata Nyonya Tilah.

“Oh ya,” Tuan Amali mengangguk, ingat pesan Pak Mardho yang minta didoakan di lantai teratas masjid ini sambil menghadap Kabah. Semoga Pak Mardho diberi kesembuhan atas segala penyakitnya. Anak perempuannya, si Ayu, semoga segera lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan dan jodoh yang mapan. Sudah beberapa kali pesan Pak Mardho yang ditulisnya di atas kertas itu dibaca oleh Tuan Amali. Sebagai perangkat desa yang menjadi bawahan Tuan Amali, Pak Mardho juga minta didoakan agar tidak terlalu lama menduda. Dua hari sebelum berangkat Tuan Amali sempat bercanda dengan Pak Mardho, bapaknya atau anaknya yang diharap mendapatkan jodoh terlebih dulu? Bukankah si Ayu selama ini ke mana-mana selalu berdua dengan lelaki sepupunya sendiri? Waktu diundang berbuka puasa bersama tempo hari si Ayu juga tidak dating karena ada syukuran di rumah sepupunya itu?

“Lahir, rezeki, jodoh, dan mati di tangan Allah,” jawab Pak Mardho.

“Rezeki di tangan Allah…,” Tuan Amali menimpali sambil tertawa.

“Doakan juga agar pemikiran penduduk kita berubah.”

Kata-kata “rezeki di tangan Allah” itulah yang hampir selalu menjadi bahan ingatan Tuan Amali. Sebagai kepala desa yang bukan penduduk asli di sini, segala usaha Tuan Amali dan perangkatnya selalu gagal untuk mengubah jalan hidup penduduknya. Sebagian besar penduduk Tuan Amali adalah pengemis secara turun-temurun. Alasan mereka selalu sama,” rezeki di tangan Allah”, maka ketika tangan mereka menadah dan orang lain mengulurkan tangannya untuk memberi adalah perwujudan “rezeki di tangan Allah”. Pagi-pagi mereka menyebar ke berbagai tujuan. Ada yang berpakain jelek dan kumal agar menimbulkan belas kasihan, ada pula yang berpakaian sewajarnya.

Mereka yang mengemis secara berkelompok akan membagi penghasilan mereka. Hasil mengemis hari Senin untuk si A, hari Selasa untuk si B, hari Rabu untuk si C, dan seterusnya. Kadang mereka juga bersepakat membagi secara merata penghasilan dalam seminggu. Mereka bisa hidup, buat rumah, beli sawah, beli ternak, beli kendaraan, dan semacamnya dari hasil mengemis. Mereka ada yang mengemis dengan menyewa kendaraan dan pengeras suara untuk berkeliling dari kota ke kota, masuk ke pasar-pasar dan tempat-tempat ramai dengan menyodorkan kaleng, serta ada pula yang mencegat di jalan-jalan. Juga ada di antara mereka yang mengemis memakai surat atau proposal yang terlaminating hingga kumal. Di mata para kepala desa yang lain, karena desanya dikenal sebagai ”desa pengemis”, Tuan Amali sering dijuluki sebagai “lurahnya pengemis”.

Tuan Amali dan istrinya telah menunaikan salat sunah beberapa kali. Sambil menghadap ke arah Kabah Tuan Amali memanjatkan doa untuk diri dan keluarganya, untuk Pak Mardho, dan yang terakhir untuk penduduknya di kampung halaman sana.

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau tidak akan mengubah nasib suatu kaum itu sendiri tidak mau mengubah nasibnya. Untuk itu ya Allah, hamba memohon kepada-Mu agar membuka hati dan sifat peminta-minta. Berikan mereka jalan hidup dan penghidupan yang lebih terhormat….”

Di saat Tuan Amali khusuk berdoa, helikopter itu datang kembali, berputar-putar dengan dengan suara menderu. Setiap kali melintas di atas kepala, orang yang duduk bersila melihatnya dengan pandangan menyerah, seperti menyaksikan kedatangan malaikat yang hendak menentukan nasib mereka selanjutnya. Dari lantai yang paling atas Masjidil Haram ini langit memamang selalu tampak kerontang. Heli warna kuning itu tak ubahnya penguasa tunggal yang mengawasi seluruh gerak-gerik ribuan orang di bawahnya. Ketika heli itu menjauh orang-orang pun kembali menunduk dengan khusyuk, melafalkan ayat-ayat dan doa-doa harapan. Sementara deru heli masih tersisa di telinga. Sebentar lagi dia akan lenyap sebelum datang kembali beberapa saat kemudian.

Matahari condong ke akar langit. Bayangan Sembilan menara bulan sabit sudah tampak merebah panjang. Tuan Amali dan Nyonya Tilah melihat di balik tiga buah kubah warna cokelat juga telah meneduh. Para jamaah memanfaatkannya dari sengatan matahari. Bukit-bukit dan bangunan-bangunan jangkung di sekeliling semakin jelas dalam pandangan. Sebentar lagi lampu-lampu di ujung tiang akan segera menyala, lalu disusul kumandang adzan yang menyeru dari pengeras suara di tiap-tiap menara dan tiang. Ketika salat suara imam menggema ke langit bersama embusan angina yang hening. Tuan Amali dan istrinya merasa sangat kecil di hadapan kebesaran Sang Pencipta.

Jalan Jabal Al-Kaabah adalah wilayah yang sangat ramai karena merupakan akses mendekati masjid. Hari ini Tuan Amali tanpa didampingi Nyonya Tilah karena istrinya mengeluh kecapekan. Di depan Al Hadeel Hotel, di saat situasi sangat ramai, Tuan Amali melihat seseorang memotret salah satu anak buntung yang meminta-minta. Tiba-tiba seorang perempuan bercadar hitam menghalangi pemotretan itu. Maksudnya sangat jelas, si anak dilarang dipotret. Ada yang bilang perempuan bercadar itulah yang memperkerjakan anak-anak tersebut untuk meminta-minta. Keganjilan lain segera terkuak. Seorang perempuan lain nekat mendekati salah satu anak dan meraba-raba lengan atasnya hingga ke dekat leher. Dengan cepat pakaian anak itu ditarik kesamping. Maka terkuaklah kebohongan mereka. Ternyata lengan anak-anak itu tidak buntung, melainkan ditekuk sebatas pergelangan lantas dimasukkan ke dalam baju. Pantas mereka hanya menongolkan ujungnya saja karena takut ketahuan lekuk lengannya yang disembunyikan.

Mengetahui kejadian itu tiba-tiba Tuan Amali merasa perlu bertindak lebih jauh. Dia merasa selama ini anak-anak itu sudah menipu orang banyak. Ini adalah tanah suci. Penipuan tidak boleh dibiarkan di depan mata. Dengan agak kasar Tuan Amali hendak membuka pakaian salah satu anak yang pura-pura bunting itu. Si anak menolak. Mungkin karena jengkel, tubuh anak itu didorong-dorong dan ditebah dengan sajadah. Perempuan bercadar yang memperalat si anak tampak segera mendekat. Tapi seorang lelaki lain berkopiah cokelat dengan nada bersemangat mencoba membela si anak.

“Apa urusanmu dengan dia?” katanya dengan nada tinggi, mimiknya tampak serius.

“Mereka telah mengotori tanah suci!” jawab Tuan Amali tak kalah sengit.

“Mereka tidak memaksa. Tidak ada yang dirugikan. Kalau kamu tidak mau memberi ya sudah!”

“Niat saya hanya satu, menyingkap kebohongan terhadap orang banyak!” tambahnya. Keduanya sambil tetap berjalan dalam kerumunan. Beberapa orang melihat ke arah mereka secara bergantian.

“Meminta-minta adalah urusan pribadi!”

“Tapi meminta-minta dengan cara menipu tidak bisa dibenarkan.”

“Mereka anak-anak yang miskin!” lelaki berkopiah coklat itu menuding-nuding ke belakang.

“Anak-anak itu mungkin tidak miskin. Mereka diperalat oleh perempuan tadi!”

“Mengapa kamu tidak berani bilang begitu sama dia?”

“Omongan sudah tidak mempan buat dia, tapi harus dengan tangan kita.”

“Kamu tidak punya hak!”

“Ini juga salah satu cara yang saya tempuh. Memang pahit, tapi harus saya lakukan untuk menyatakan kebenaran!” tegas Tuan Amali.

“Kamu harus bisa mengendalikan kesabaran di sini.”

“Kesabaran bukan berarti diam ketika melihat kejahatan!”

Tuan Amali dan lelaki berkopiah coklay it uterus beradu mulut sambil berjalan. Mereka kadang-kadang saling melihat. Jarak mereka merenggang karena didesak orang-orang yang berjalan. Sesekali nada suaranya terdengar ditinggikan. Lama-lama keduanya mungkin sudah tidak saling melihat wajah masing-masing. Tapi adu mulut mereka masih terdengar hingga menjauh sebelum pada akhirnya benar-benar menghilang dibalut keramaian.

Sementara itu anak-anak yang pura-pura buntung itu tetap duduk di tempat. Sesekali mereka melihat ke sekeliling untuk mengetahui apakah ada polisi pamong praja atau tidak. Memang polisi kadang-kadang mengobrak mereka, tapi mereka segera bereaksi kembali ketika polisi telah menjauh. Kucing-kucingan terus berlangsung karena polisi rupanya hanya gertak sambal, tidak pernah menangkap dan menangani dengan serius.

Tuan Amali berhenti di depan pertokoan yang mempertemukan Jalan Jabal Al-Kaabah dengan Jalan Al-Mahakim. Sinar matahari menyengat. Sajadah yang dibawanya dipakai untuk menutup kepala. Dikenakannya kaca mata hitam lebar agak tidak silau. Terasa ada keringat mengalir dari keningnya. Tuan Amali merenungi tindakannya tadi hingga bertengkar mulut dengan lelaki berkopiah cokelat. Tuan Amali menimbang-nimbang, dia tetap yakin bahwa niatnya mulia. Kota suci harus dipertahankan kesuciannya. Beberapa saat dia tercenung di antara orang-orang yang lalu lalang di depannya. Toko-toko di sepanjang jalan ini juga selalu ramai.

Tiba-tiba Tuan Amali terkejut. Seorang lelaki tua bersongkok hitam menadahkan tangan di depannya untuk meminta sedekah. Tuan Amali ingin menyebut nama, tapi mulutnya masih tertahan oleh rasa bimbang. Dirogohnya saku kanan untuk mengambil beberapa real dan diberikan kepada sang peminta. Lelaki tua itu segera pergi dan melakukan hal yang sama kepada orang lain. Tuan Amali memandanginya hingga jarak makin merenggang. Dia mulai yakin dengan lelaki meminta-minta itu.

“Pak Dotil…!” seru Tuan Amali.

Dari jarak yang agak jauh lelaki yang diserunya tadi menoleh. Dia mencari-cari siapa yang memanggil namanya. Tuan Amali tidak memberi reaksi apa-apa. Lelaki tua tadi berjalan kembali. Sekarang Tuan Amali yakin lelaki tua yang disapanya tadi benar-benar Pak Dotil, penduduknya sendiri yang tahun ini juga menunaikan ibadah haji. Seperti kebanyakan warga di desanya, Pak Dotil sendiri juga bekerja sebagai pengemis yang selalu mangkal di pintu Pasar Rebo. Tahun ini dia naik haji ikut rombongan kota lain agar bisa serombongan dengan saudaranya. Diselah-selah ibadah yang dilakukannya di kota ini ternyata Pak Dotil memanfaatkannya juga untuk mengemis. Barangkali, bagi Pak Dotil, mengemis juga bagian dari ibadah karena “rezeki di tangan Allah”.

Cuaca makin panas. Debu-debu tersaruk kaki para pejalan hingga kurang nyaman di pernafasan. Tuan Amali berjalan mempercepat langkahnya meninggalkan Jalan Jabal Al-Kaabah. Rasanya dia ingin segera berbicara dengan Nyonya Tilah. Kata-kata yang sudah terlalu lama diingat oleh Tuan Amali muncul kembali. Para peminta-minta itu selama hidupnya akan didera dengan kemiskinan. Meski harta mereka sudah cukup, mereka akan merasa tetap miskin sehingga menjadi peminta-minta sepanjang hidupnya. Tuan Amali yakin seyakin-yakinnya, tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah.

Jawa Pos, Minggu 13 Juli 2014       

Sumber: https://adhidreamtoparis.blogspot.com/2014/12/di-jalan-jabalal-kaabah-oleh-m.html

Kritik dan Esai Cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah

1. Tema cerpen di Jalan Jabal Al- Kaabah :                 Menceritakan sedang melakukan ibadah haji       di tanah suci.

2. Tokoh cerpen di Jalan Jabal Al- Kaabah :

 1. Kepala desa bernama Tuan Amali.

 2. Nyonya Tilah.

 3. Pak Mardho.

 4. Pak Dotil.

3. Watak cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah : 

1. Kepala desa bernama Tuan Amali bersifat            baik.

2. Nyonya Tilah bersifat baik.

3. Pak Mardho bersifat baik.

4. Pak Dotil bersifat baik.

4. Latar cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah :

1.     Latar waktu : pagi hari.

2.     Latar tempat : Jalan Jabal Al-Ka’bah.

3.     Latar suasana : sedih dan kecewa.

5. Alur cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah:

Alur pada cerita ini menggunakan alur mundur, karena ceritanya dari awal hingga akhir tidak berkelanjutan jadi cerpen tersebut rasa kekecewaan belum nampak jelas.

6. Sudut pandang cerpen di Jalan Jabal Al-                  Kaabah:

Pada cerpen ini, penulis mengambil sudut pandang tidak langsung. Karena penulis menuliskan sebuah kisah atas apa yang dia dengar dari sebuah kejadian.

7. Amanat cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah:

 1. Janganlah jahat kepada orang lain.

 2. Jangan pernah meminta-minta kepada orang        lain. Lebih baik memberi daripada meminta.

Makna pada cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah :

Cerpen yang berjudul di Jalan Jabal Al-Kaabah karya M. Shoim Anwar menceritakan tentang seorang kepala desa yang sedang melakukan ibadah haji di tanah suci. Kepala desa tersebut bernama Tuan Amali, beliau beranhkat ke tanah suci bersama istrinya yang bernama Nyonya Tilah. Pada saat di Masjidil Haram Tuan Amali teringat pada anak-anak cacat yang meminta-minta di jalan. Tuan Amali merasa belas kasihan terhadap anak-anak tersebut. Sejenak Tuan Amali berpikir bahwa anak-anak tersebut adalah korban dari peperangan atau mungkin ledakan bom. Tuan Amali dengan ikhlas memberi sedekah kepada anak-anak yang cacat tersebut, karena niat Tuan Amali bersama Nyonya Tilah adalah menjalankan perintah agama.

Kritik

Dalam cerpen yang berjudul di Jalan Jabal Al-Kaabah karya M. Shoim Anwar menceritakan bahwa untuk Tuan Amali dan Nyonya Tilah telah melaksanakan ibadah haji dan beliau merasa belas kasihan terhadap anak-anak yang mengemis dengan keadaan fisik cacat tangannya. Namun, anak-anak tersebut bukan cacat yang sebenarnya. Anak tersebut hanya berpura-pura cacat agar orang-orang merasa simpati terhadapnya. Begitu pula Pak Dotil penduduk Tuan Amali, Pak Dotil melaksanakan ibadah haji namun di tanah suci Pak Dotil melakukan pekerjaannya yaitu meminta sedekah. Tuan Amali merasa sangat kecewa dengan kejadian-kejadian tersebut termasuk kepada Pak Dotil. Cerpen tersebut baik untuk dibaca namun, bagian akhir cerita tersebut tidak digambarkan secara lebih lanjut mengenai rasa kekecewaan yang diterima oleh Tuan Amali.

Esai

Cerpen yang berjudul di Jalan Jabal Al-Kaabah karya M. Shoim Anwar menceritakan tentang seorang kepala desa yang sedang melakukan ibadah haji di tanah suci. Kepala desa tersebut bernama Tuan Amali, beliau beranhkat ke tanah suci bersama istrinya yang bernama Nyonya Tilah. Pada saat di Masjidil Haram Tuan Amali teringat pada anak-anak cacat yang meminta-minta di jalan. Tuan Amali merasa belas kasihan terhadap anak-anak tersebut. Sejenak Tuan Amali berpikir bahwa anak-anak tersebut adalah korban dari peperangan atau mungkin ledakan bom. Tuan Amali dengan ikhlas memberi sedekah kepada anak-anak yang cacat tersebut, karena niat Tuan Amali bersama Nyonya Tilah adalah menjalankan perintah agama.

Sebelum berangkat ke tanah suci Tuan Amali diberi Pak Mardho sebuah titipan yaitu doa agar Pak Mardho diberi kesembuhan atas segala penyakitnya dan anaknya segeral lulus kuliah dengan bekerja yang mapan dan jodoh. Beberapa kali Tuan Amali membaca titipan dari Pak Mardho. Suatu hari ketika Tuan Amali juga mencoba mengajak Pak Mardho bercanda untuk mengenai jodoh. Menurut Pak Mardho lahir, rezeki, jodoh, dan matti itu di tangan Allah. Kata-kata “rezeki di tangan Allah” tersebut selalu diinga oleh Tuan Amali, karena sebagian besar penduduk Tuan Amali adalah pengemis. Hingga penduduk Tuan Amali dapat hidup sehari-hari dan membangun rumah dengan hasil mengemis tersebut.

Hingga suatu saat Tuan Amali menjumpai seseorang sedang memotret anak-anak yang sedang mengemis di jalan Jabal Al-Kaabah. Namun, pada saat akan memotret ada seorang perempuan bercadar yang berusaha menghalangi. Menurut orang-orang perempuan itu telah memperkerjakan anak-anak cacat tersebut. Hingga pada akhirnya semua terbongkar dan anak-anak pengemis yang cacat tersebut hanyalah berpura-pura. Mengetahui kejadian tersebut Tuan Amali merasa ditipu dan penipuan tidak boleh dibiarkan begitu saja terlebih lagi penipuan tersebut terjadi di tanah suci. Tiba-tiba datang seorang laki-laki berkopyah coklat dengan bersemangat mencoba membela anak tersebut. Ketika berdebat dengan laki-laki tua berkopyah coklat tersebut, tiba-tiba Tuan Amali terkejut melihat seorang lelaki tua bersongkok hitam yang menadahkan tangan di depannya untuk meminta sedekah. Ternyata laki-laki tersebut adalah Pak Dotil salah satu penduduknya yang sedangn melakukan ibadah haji. Seperti penduduk yang lain Pak Dotil selama ini bekerja sebagai pengemis.

Kelebihan dan kekurangan cerpen yang berjudul  di Jalan Jabal Al-Kaabah :

Kelebihan    : cerpen ini mudah dipahami dan                               sangat menarik untuk dibaca,                                    karena isi cerpen ini                                                    menceritakan tentang seorang                                  kepala desa yang sedang                                            melakukan ibadah haji di tanah                                suci.

Kekurangan : Kata-katanya terlalu menyakiti                                  orang dan menceritakan bagian                                akhir cerita tersebut tidak                                          digambarkan secara lebih lanjut                              mengenai rasa kekecewaan                                        yang diterima oleh Tuan Amali.

Dari cerpen yang berjudul di Jalan Jabal Al-Kaabah karya M. Shoim Anwar jika dikaitkan dengan kehupan sekarang yaitu  jangan pernah meminta-minta kepada orang lain. Lebih baik memberi daripada meminta dan jangan berbohong kepada semua orang karena hal tersebut termasuk dosa.

 

 

 




       

Sabtu, 10 April 2021

Kritik dan esai cerpen "Tahi Lalat"

 Tahi Lalat

 Cerpen M Shoim Anwar (Media Indonesia, 19 Februari 2017)

Tahi Lalat ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia

ADA tahi lalat di dada istri Pak Lurah. Itu kabar yang tersebar di tempat kami. Keberadaannya seperti wabah. Lembut tapi pasti. Mungkin orang-orang masih sungkan untuk mengatakannya secara terbuka. Mereka menyampaikan kabar itu dengan suara pelan, mendekatkan mulut ke telinga pendengar, sementara yang lain memasang telinga lebih dekat ke mulut orang yang sedang berbicara. Mereka manggut-manggut, tersenyum sambil membuat kode gerakan menggelembung di dada dengan dua tangan, lalu menudingkan telunjuk ke dada sendiri, sebagai pertanda telah mengerti.

“Awas, ini rahasia. Jangan bilang siapa-siapa!” kata Bakrul memulai pembicaraan sambil mendekatkan telunjuknya ke mulut.

“Di sebelah mana?” aku mengorek.

“Di sebelah kiri, agak ke samping,” jawab Bakrul.

“Besar?”

“Katanya sebesar biji randu.”

Mungkin karena keberadaannya sudah lebih jelas, akhirnya orang-orang saling memberi kode ketika berpapasan. Bila mereka sedang bergerombol, dan salah satu sudah memberi kode, yang lain mengacungkan jempolnya sebagai tanda mengerti. Bagi yang kurang yakin, pertanyaan akan langsung diteriakkan saat aku lewat.

Karena tak ingin diteriaki terus, aku mengacungkan jempol. Teriakan itu memicu yang lain untuk keluar rumah, lalu menuju pinggir jalan tempat aku lewat. Sebenarnya aku tak enak juga mendengar ejekan terhadap lurahku, meski waktu pemilihan aku tidak mencoblosnya. Maka, sebelum mereka berteriak, aku mengacungkan jempol terlebih dulu. Tapi karena niatnya mungkin mengejek, teriakan mereka pun bertambah santer. 

Suara truk pengangkut material untuk pembangunan perumahan menderu-deru di jalan depan rumah yang rusak parah. Debu-debu itu sering dikeluhkan oleh anakku, Laela, setiap pulang sekolah. Entah mengapa Pak Lurah dan perangkatnya tak peduli dengan situasi itu. Pak Lurah justru tampak akrab dan sering keluar bareng dengan mobil pengembang perumahan itu.

“Di luar sana juga ada omongan soal kedekatan istri Pak Lurah dengan bos proyek perumahan,” aku membuka pembicaraan dengan istri.

“Kedekatan yang gimana lagi?” istriku mendongak.

“Bos proyek itu sering datang saat Pak Lurah tidak ada di rumah. Katanya juga pernah keluar bareng.”

Bulan depan adalah masa pendaftaran calon lurah atau kepala desa di sini. Konon Pak Lurah akan mencalonkan kembali untuk periode berikutnya. Tak ada yang bisa mencegahnya meski janji-janjinya yang dulu ternyata palsu.

“Ada unsur politik juga kayaknya,” kataku pada istri.

“Mengapa istri diikut-ikutkan?” dia mendongak.

“Citra perempuan lebih sensitif untuk dimainkan.”

“Pak Lurah telah menceraikan istrinya yang pertama. Ini istri kedua. Andai tetap dengan Bu Lurah yang dulu, tak akan tersiar kabar kayak begini.”

“Bisa jadi berita itu datangnya dari suaminya yang dulu.”

“Lo, Bu Lurah yang sekarang itu masih perawan. Selisih umurnya katanya dua puluh tahun,” istriku menegaskan sambil menyambut Laela yang baru pulang sekolah.

Pak Lurah tak pernah berkomentar atas pembicaraan yang menyangkut istrinya. Kami memilih diam ketika dia lewat. Ini berbeda ketika yang lewat istrinya. Orang-orang mendehem, pura-pura batuk ketika ada istri Pak Lurah, tersenyum dan menyapa basa-basi. Tapi, dari arah belakang, mereka membuat isyarat gerakan gelembung di dada, kemudian menuding-nudingkan telunjuk ke dada sebelah kiri.

Jujur kukatakan, Pak Lurah juga sering menggunakan cara-cara kotor. Selama menjabat, tidak sedikit warga yang kehilangan sawah ladang dan berganti dengan perumahan mewah⁷. Warga yang tinggal di tempat strategis, melalui perangkat desa Pak Bayan, dirayu untuk menjual tanahnya dengan harga yang lumayan mahal. Begitu tanah-tanah yang strategis itu terlepas dari pemiliknya, Pak Lurah semakin gencar membujuk yang lain dengan cara memanggilnya ke kantor kelurahan.

“Kalau tidak mau menjual, akan dipagari oleh pengembang perumahan,” begitulah kata-kata intimidasi yang sering dilontarkan Pak Bayan kepada warga.

“Lama-lama desa ini habis terjual,” kataku pada Pak Bayan.

“Habis gimana?” jawab Pak Bayan enteng.

“Bilang sama Pak Lurah,” aku melanjutkan, “mestinya kehidupan kami diperbaiki agar makmur. Diciptakan lapangan kerja baru. Bukan mengancam agar rakyat menjual tanahnya kayak kompeni.”

“Kalau ada perumahan, pasti warga dapat kesempatan kerja.”

“Jadi kuli dan babu!” aku menyergah.

Aku yakin, warga asli sini kelak akan jadi buruh pembersih rumput dan tukang sapu di wilayah perumahan. Sambil duduk di tanah, mereka menatap rumah-rumah mewah, dengan badan kurus kurang gizi dan napas kembang kempis digerogoti usia, mereka akan menuding sambil berkata, “Itu dulu tanah milik saya. Batasnya dari sana hingga ke sana. Luaaas sekali….”

Semakin mendekati masa pendaftaran calon lurah, berita adanya tahi lalat di dada istri Pak Lurah semakin santer. Bumbu-bumbu pembicaraan makin banyak. Pembicaraan tidak hanya tertumpu pada tahi lalat di dada istri Pak Lurah, tapi meluas hingga sekujur tubuh istri Pak Lurah ditelanjangi.

Aku yakin Pak Lurah dan istrinya sudah mencium kasak-kusuk di sekitarnya. Mungkin untuk mengamankan pencalonannya kembali sebagai lurah, dia sengaja memilih diam dengan harapan pembicaraan itu akan menghilang dengan sendirinya. Tapi, dengan sikap diamnya itu, aku curiga jangan-jangan pembicaraan itu benar adanya. Kata-kata ‘diam pertanda setuju’ hadir dalam pikiranku. Memang, Pak Lurah dan istrinya serba salah. Apa pun yang dikatakannya dijamin tidak akan dapat meyakinkan tanpa bukti fisik.

“Apa tidak mungkin jika salah seorang ibu PKK diminta mendekati Bu Lurah?” kataku pada istri.

“Untuk apa?”

“Menanyakan kepastian ada tidaknya tahi lalat itu.”

“Terus kalau tidak ada mau apa?”

“Ya biar jelas dong,” jawabku pura-pura lega.

“Terus kalau benar-benar ada?” istriku mengejar lagi.

“Orang-orang akan puas,” aku bergaya manggut-manggut. “Akhirnya mereka kan berhenti ngrasani.”

“Ehmm, untuk apa!” istriku melengos.

Dari awal aku sudah punya pikiran bahwa pembicaraan itu punya maksud lebih besar. Tidak penting apakah di dada istri Pak Lurah ada tahi lalatnya atau tidak. Di sebelah kiri atau kanan juga tak penting. Sebesar biji randu atau sebesar kelapa pun tak masalah. Yang sangat rawan adalah, bila benar-benar ada, kok sampai ada yang tahu? Siapa pun yang mengetahui tahi lalat di tempat rahasia itu pasti dia adalah orang yang punya hubungan khusus dengan istri Pak Lurah. Bila ditafsirkan lagi, perempuan itu sudah menjadi istri Pak Lurah saat menjalin hubungan khusus dengan orang tadi.

Siang yang terik. Truk-truk pengangkut material menderu-deru melewati kampung kami untuk menguruk sawah warga yang telah terbeli. Jalan makin rusak parah. Aku berjalan menyisir di tepi kanan. Dari arah berlawanan tampak mobil Jeep hitam berhenti. Sepertinya telah lama. Beberapa saat muncul Pak Bayan dari arah yang sama. Lelaki itu memacu motornya agak kencang. Kami berpapasan. Pak Bayan tak berkata apa-apa.

Jeep yang tadi berhenti tampak bergerak. Sepertinya gas ditancap sehingga melaju terguncang-guncang di jalan yang bergeronjal. Debu-debu membalutnya. Terasa ada yang aneh. Kendaraan itu melaju makin kencang di sisi kanan. Ternyata Jeep itu menggasakku. Spontan aku meloncat ke seberang parit. Aku tak tahu siapa pengendaranya. Cuk! Tubuhku terjatuh ke rumpun bambu. Duri-duri tajam menancap di sana-sini. Aku berdarah-darah.

Sampai di rumah aku masih tak habis pikir, setan keparat mana yang mengendarai Jeep tadi. Aku mengumpat-ngumpat sendiri. Dari arah depan terdengar suara Laela pulang dari sekolah. Dia setengah berlari menghampiri aku dan ibunya.

“Gambarku bagus, ya?” Laela menyodorkan buku gambarnya yang terbuka.

“Gambar apa ini?” aku bertanya sambil menerimanya.

“Orang.”

Anak perempuanku, kelas dua sekolah dasar, menggambar orang dengan rambut sepundak. Wajah dan tubuhnya diberi warna cokelat kekuningan. Bibirnya dibuat merah menyala.

“Ini orang laki apa perempuan?”

“Perempuan,” ia menunjuk ke gambarnya. Dada gambar itu memang dibuat kayak ada belahannya dengan disanggah angka tiga menghadap ke atas.

“Terus titik besar berwarna hitam ini apa?”

“Itu tahi lalat,” jawab anakku enteng.

“Tahi lalat apa?”

“Tahi lalat di dada istri Pak Lurah.”

“Haaa…??!!!” aku heran dan terhenyak. Istriku juga tampak terbengong-bengong. Kami saling memandang. Tak bicara apa-apa. Entah bagaimana ceritanya Laela tiba-tiba menunjukkan gambar perempuan yang bertahi lalat di dadanya. Persis gunjingan yang hari-hari ini kami dengar.

“Ini tahi lalat di dada istri Pak Lurah…” kembali anakku menuding gambar yang telah dibuatnya. Kami hanya tersenyum. Kecut dan heran.

2017

 catatan:

Di daerah Jawa, istilah kepala desa lazim disebut lurah

M Shoim Anwar, cerpenis dan peneliti sastra. Hasil risetnya tentang jejak Soeharto dalam sastra Indonesia memperoleh banyak apresiasi di kalangan akademisi sastra. Buku fiksi terkininya Kutunggu di Jarwal (2014).


Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id

Sumber : https://lakonhidup.com/2017/02/19/tahi-lalat/

Kritik/esai cerpen “Tahi Lalat”

Dari segi makna atau isi cerpen "Tahi Lalat" sebagai berikut : 

   Cerpen ini menceritakan tentang kehidupan sosial di kampung, Karena menceritakan seorang Lurah tidak adil kepada masyarakatnya dan selalu bertindak sesuai dengan keinginanya. Menceritakan kebiasaan buruk masyarakat kampung karena suka membuat isu dan ngerasani orang padahal belum tentu kebenarannya. Laela, anak kecil yang suka menirukan orang dewasa, apa lagi yang sedang hangat dibicarakan orang-orang. Laela menggambar seorang perempuan yang ada Tahi Lalat hitam di dadanya.

Cerpen "Tahi Lalat" di atas dapat diketahui beberapa kesimpulan kritik esai dari berbagai aspek, seperti:
1. Tema :
Tema yang digunakan dalam cerpen ini adalah tema tradisional. Bagaimana tradisi di masyarakat atas kabar atau berita terkini. Hanya dari mulut ke mulut, kabar atau berita tersebut sudah tersebar luas tanpa diketahui kebenaran aslinya bagaimana.

2. Tokoh/penokohan : istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Tokoh cerita menempati posisi sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.

Penggambaran tokoh dalam cerita ini bukan sebagai pelaku utama melainkan pelaku sampingan. Karena tidak disampaikan siapa pelaku hanya sebagai pokok pembicaraan. Tetapi yang menjadi tokoh utama justru pelaku sampingan.Di luar sana juga ada omongan soal kedekatan istri Pak Lurah dengan bos proyek perumahan, aku membuka pembicaraan dengan istri.

Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa pelaku sampingan menceritakan bagaimana pelaku utama. Pelaku utama hanya sebagai bahan pembicaraannya saja.
3. Latar :
Penempatan letak waktu, tempat, dan keadaan dalam sebuah karya tulis.  Ada beberapa unsur yang digambarkan dalam cerpen ini, seperti :

Waktu :

Siang yang terik. Truk-truk pengangkut material menderu-deru melewati kampung kami untuk menguruk sawah warga yang telah terbeli. Jalan makin rusak parah. Aku berjalan menyisir di tepi kanan. Dari arah berlawanan tampak mobil Jeep hitam berhenti. Sepertinya telah lama. Beberapa saat muncul Pak Bayan dari arah yang sama. Lelaki itu memacu motornya agak kencang. Kami berpapasan. Pak Bayan tak berkata apa-apa.

Dari kutipan di atas, latar waktu yang diambil adalah siang hari. Kata pertama di awal kalimat tersebut.
Tempat : Sampai di rumah aku masih tak habis pikir, setan keparat mana yang mengendarai Jeep tadi. Aku mengumpat-ngumpat sendiri. Dari arah depan terdengar suara Laela pulang dari sekolah. Dia setengah berlari menghampiri aku dan ibunya.

4. Alur. Alur pada cerita ini menggunakan alur maju, sebab ceritanya dari awal hingga akhir berkelanjutan mulai dari terdengarnya kabar angin itu hingga diakhir dengan kabar angin pula.

5. Sudut pandang

Pada cerpen ini, penulis mengambil sudut pandang tidak langsung. Karena penulis menuliskan sebuah kisah atas apa yang dia dengar dari sebuah kejadian.
6. Gaya bahasa adalah 
Dari beberapa kalimat yang terdapat dalam penggalan cerita di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa yng digunakan dalam karya ini banyak mengandung kalimat konotasi. Bahasa bukan sebenarnya. Terlihat lebih terbuka dari segi penyampaian maknanya. Biasanya bahasa yang digunakan ini, bisa menimbulkan tanda tanya bagi yang membacanya dengan mata telanjag. Tetapi karya tulis ini bisa dikategorikan menarik, sebab bahasanya yang dapat memikat seseorang untuk mencari tau akibat rasa penasaran.

7. Amanat

Pada cerpen ini, ada beberapa pesan atau amanat yang dapat ditarik, yaitu:
Jangan pernah mengambil suatu keputusan dari apa yang baru di dengar jika belum diketahui kejelasannya.Jangan mudah percaya atas segala kabar yang belum jelas arahnya.

Dari cerpen "Tahi Lalat" diatas jika dikaitkan dengan kehidupan sekarang yaitu  jangan pernah menceritakan privasi orang lain yang belum tentu saja benar, dan jangan mudah percaya terhadap orang lain.