Rabu, 31 Desember 2014
Di
Jalan Jabal Al-Kaabah
OLEH M. SHOIM ANWAR
Dari arah Jarwal Al-Tayssir kendaraan itu meluncur mendahului para
pejalan kaki yang semakin ramai, melewati Jabal Al-Kaabah Street hingga tembus
ke Umm Al-Qura Road. Jalanan menanjak dan beberapa saat kemudian menurun
kembali. Suasana mulai terasa berbeda karena lampu-lampu yang menyala. Angkutan
itu lantas berbalik arah, menuju jalur di sebelah kirinya untuk menurunkan
penumpang di pemberhentian. Bunyi menderu di terowongan bawah tanah Ibrahim Al-Khalil Road. Kendaraan
yang datang dan pergi, generator, travo, blower, dan lampu-lampu listrik tegangan tinggi terasa menggetarkan
seluruh ruang.
Setelah turun dari angkutan umum, dengan langkah tergesa, Tuan
Amali menaiki eskalator. Istrinya, Nyonya Tilah, setengah berlari mengikuti langkah sang
suami. Orang-orang pun terburu mengejar waktu. Eskalator itu naik dan menyembul
di pelataran sehingga orang-orang tampak seperti muncul dari dalam tanah.
Tahu-tahu mereka telah sampai di halaman Masjidil Haram di samping Hotel Dar
Al-Tawhid. Tuan Amali dan Nyonya Tilah berjalan di halaman sebelah kiri. Lewat
pintu samping mereka lantas naik ke lantai ketiga, melewati pintu nomor 66
bertuliskan Al-Shebyka Escalator. Di lantai teratas tanpa atap itu sudah hamper
dipenuhi orang, tapi suasana khusuk sangat terasa. Tuan Amali tertegun sejenak
sambil pandangannya menerawang.
“Aku teringat anak-anak cacat yang meminta-minta di jalan sana,”
katanya sambil menuding ke arah jalan.
“Ya, sudah agak lama kita tidak memberi mereka,” Nyonya Tilah
menimpali.
“Besok kita sempatkan jalan kaki agar bisa memberi.”
“Semoga Allah selalu memberi rezeki buat mereka semua.”
“Siapa tahu mereka adalah malaikat yang diutus Allah untuk menguji
rasa belas kasihan kita,” kata Tuan Amali.
Hari-hari terakhir ini Tuan Amali dan Nyonya Tilah naik kendaraan
untuk menghemat tenaga. Sebelum itu mereka selalu berjalan kaki saat pulang dan
pergi ke Masjidil Haram. Dia selalu melihat deretan anak-anak berkulit hitam
duduk di tanah sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang putus pertanda
meminta sedekah. Dengan baju lusuh warna gelap mereka menongolkan lengan
buntungnya agar dilihat semua orang yang lewat. Mereka hampir selalu muncul
selepas Jalan Jabal Al-Kaabah hingga mendekati area masjid. Dengan ekspresi
memelas mereka mengharap belas kasihan kepada orang-orang yang lewat. Tuan
Amali berpikir anak-anak yang malang itu adalah korban peperangan, atau terkena
ledakan bom hingga kedua lengan mereka putus. Kemungkinan lain mereka menderita
kelainan genetis akibat pernikahan antar penderita sehingga cacat fisik muncul
secara dominan dari bawaan orang tua. Usia mereka, baik yang laki maupun
perempuan, sekitar sepuluh tahun ke bawah. Mereka selalu duduk berdekatan
sekitar lima anak.
Seperti orang-orang lain Tuan Amali dan Nyonya Tilah juga sering
memberikan sedekah kepada anak-anak buntung yang malang itu. Uang sedekah
diletakkan dipangkuan mereka. Tentu mereka memperoleh jumlah yang besar karena
banyak orang mengasihani dari hari ke hari. Tuan Amali dan istrinya bersedekah
dengan penuh keikhlasan mengingat kedatangan ke kota itu juga untuk menjalankan
perintah agama. Sedekah yang ikhlas seikhlas-ikhlasnya, ibarat tangan kanan
memberi dan tangan kiri tak mengetahuinya.
“Jangan lupa titipan doa dari Pak Mardho,” kata Nyonya Tilah.
“Oh ya,” Tuan Amali mengangguk, ingat pesan Pak Mardho yang minta
didoakan di lantai teratas masjid ini sambil menghadap Kabah. Semoga Pak Mardho
diberi kesembuhan atas segala penyakitnya. Anak perempuannya, si Ayu, semoga
segera lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan dan jodoh yang mapan. Sudah
beberapa kali pesan Pak Mardho yang ditulisnya di atas kertas itu dibaca oleh
Tuan Amali. Sebagai perangkat desa yang menjadi bawahan Tuan Amali, Pak Mardho
juga minta didoakan agar tidak terlalu lama menduda. Dua hari sebelum berangkat
Tuan Amali sempat bercanda dengan Pak Mardho, bapaknya atau anaknya yang
diharap mendapatkan jodoh terlebih dulu? Bukankah si Ayu selama ini ke
mana-mana selalu berdua dengan lelaki sepupunya sendiri? Waktu diundang berbuka
puasa bersama tempo hari si Ayu juga tidak dating karena ada syukuran di rumah
sepupunya itu?
“Lahir, rezeki, jodoh, dan mati di tangan Allah,” jawab Pak Mardho.
“Rezeki di tangan Allah…,” Tuan Amali menimpali sambil tertawa.
“Doakan juga agar pemikiran penduduk kita berubah.”
Kata-kata “rezeki di tangan Allah” itulah yang hampir selalu
menjadi bahan ingatan Tuan Amali. Sebagai kepala desa yang bukan penduduk asli
di sini, segala usaha Tuan Amali dan perangkatnya selalu gagal untuk mengubah
jalan hidup penduduknya. Sebagian besar penduduk Tuan Amali adalah pengemis
secara turun-temurun. Alasan mereka selalu sama,” rezeki di tangan Allah”, maka
ketika tangan mereka menadah dan orang lain mengulurkan tangannya untuk memberi
adalah perwujudan “rezeki di tangan Allah”. Pagi-pagi mereka menyebar ke
berbagai tujuan. Ada yang berpakain jelek dan kumal agar menimbulkan belas
kasihan, ada pula yang berpakaian sewajarnya.
Mereka yang mengemis secara berkelompok akan membagi penghasilan
mereka. Hasil mengemis hari Senin untuk si A, hari Selasa untuk si B, hari Rabu
untuk si C, dan seterusnya. Kadang mereka juga bersepakat membagi secara merata
penghasilan dalam seminggu. Mereka bisa hidup, buat rumah, beli sawah, beli
ternak, beli kendaraan, dan semacamnya dari hasil mengemis. Mereka ada yang
mengemis dengan menyewa kendaraan dan pengeras suara untuk berkeliling dari
kota ke kota, masuk ke pasar-pasar dan tempat-tempat ramai dengan menyodorkan
kaleng, serta ada pula yang mencegat di jalan-jalan. Juga ada di antara mereka
yang mengemis memakai surat atau proposal yang terlaminating hingga kumal. Di
mata para kepala desa yang lain, karena desanya dikenal sebagai ”desa
pengemis”, Tuan Amali sering dijuluki sebagai “lurahnya pengemis”.
Tuan Amali dan istrinya telah menunaikan salat sunah beberapa kali.
Sambil menghadap ke arah Kabah Tuan Amali memanjatkan doa untuk diri dan
keluarganya, untuk Pak Mardho, dan yang terakhir untuk penduduknya di kampung
halaman sana.
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau tidak akan mengubah nasib suatu kaum
itu sendiri tidak mau mengubah nasibnya. Untuk itu ya Allah, hamba memohon
kepada-Mu agar membuka hati dan sifat peminta-minta. Berikan mereka jalan hidup
dan penghidupan yang lebih terhormat….”
Di saat Tuan Amali khusuk berdoa, helikopter itu datang kembali,
berputar-putar dengan dengan suara menderu. Setiap kali melintas di atas kepala,
orang yang duduk bersila melihatnya dengan pandangan menyerah, seperti
menyaksikan kedatangan malaikat yang hendak menentukan nasib mereka
selanjutnya. Dari lantai yang paling atas Masjidil Haram ini langit memamang
selalu tampak kerontang. Heli warna kuning itu tak ubahnya penguasa tunggal
yang mengawasi seluruh gerak-gerik ribuan orang di bawahnya. Ketika heli itu
menjauh orang-orang pun kembali menunduk dengan khusyuk, melafalkan ayat-ayat
dan doa-doa harapan. Sementara deru heli masih tersisa di telinga. Sebentar
lagi dia akan lenyap sebelum datang kembali beberapa saat kemudian.
Matahari condong ke akar langit. Bayangan Sembilan menara bulan
sabit sudah tampak merebah panjang. Tuan Amali dan Nyonya Tilah melihat di
balik tiga buah kubah warna cokelat juga telah meneduh. Para jamaah
memanfaatkannya dari sengatan matahari. Bukit-bukit dan bangunan-bangunan
jangkung di sekeliling semakin jelas dalam pandangan. Sebentar lagi lampu-lampu
di ujung tiang akan segera menyala, lalu disusul kumandang adzan yang menyeru
dari pengeras suara di tiap-tiap menara dan tiang. Ketika salat suara imam
menggema ke langit bersama embusan angina yang hening. Tuan Amali dan istrinya
merasa sangat kecil di hadapan kebesaran Sang Pencipta.
Jalan Jabal Al-Kaabah adalah wilayah yang sangat ramai karena
merupakan akses mendekati masjid. Hari ini Tuan Amali tanpa didampingi Nyonya
Tilah karena istrinya mengeluh kecapekan. Di depan Al Hadeel Hotel, di saat
situasi sangat ramai, Tuan Amali melihat seseorang memotret salah satu anak buntung
yang meminta-minta. Tiba-tiba seorang perempuan bercadar hitam menghalangi
pemotretan itu. Maksudnya sangat jelas, si anak dilarang dipotret. Ada yang
bilang perempuan bercadar itulah yang memperkerjakan anak-anak tersebut untuk
meminta-minta. Keganjilan lain segera terkuak. Seorang perempuan lain nekat
mendekati salah satu anak dan meraba-raba lengan atasnya hingga ke dekat leher.
Dengan cepat pakaian anak itu ditarik kesamping. Maka terkuaklah kebohongan
mereka. Ternyata lengan anak-anak itu tidak buntung, melainkan ditekuk sebatas
pergelangan lantas dimasukkan ke dalam baju. Pantas mereka hanya menongolkan
ujungnya saja karena takut ketahuan lekuk lengannya yang disembunyikan.
Mengetahui kejadian itu tiba-tiba Tuan Amali merasa perlu bertindak
lebih jauh. Dia merasa selama ini anak-anak itu sudah menipu orang banyak. Ini
adalah tanah suci. Penipuan tidak boleh dibiarkan di depan mata. Dengan agak
kasar Tuan Amali hendak membuka pakaian salah satu anak yang pura-pura bunting
itu. Si anak menolak. Mungkin karena jengkel, tubuh anak itu didorong-dorong
dan ditebah dengan sajadah. Perempuan bercadar yang memperalat si anak tampak
segera mendekat. Tapi seorang lelaki lain berkopiah cokelat dengan nada
bersemangat mencoba membela si anak.
“Apa urusanmu dengan dia?” katanya dengan nada tinggi, mimiknya
tampak serius.
“Mereka telah mengotori tanah suci!” jawab Tuan Amali tak kalah
sengit.
“Mereka tidak memaksa. Tidak ada yang dirugikan. Kalau kamu tidak
mau memberi ya sudah!”
“Niat saya hanya satu, menyingkap kebohongan terhadap orang
banyak!” tambahnya. Keduanya sambil tetap berjalan dalam kerumunan. Beberapa
orang melihat ke arah mereka secara bergantian.
“Meminta-minta adalah urusan pribadi!”
“Tapi meminta-minta dengan cara menipu tidak bisa dibenarkan.”
“Mereka anak-anak yang miskin!” lelaki berkopiah coklat itu
menuding-nuding ke belakang.
“Anak-anak itu mungkin tidak miskin. Mereka diperalat oleh
perempuan tadi!”
“Mengapa kamu tidak berani bilang begitu sama dia?”
“Omongan sudah tidak mempan buat dia, tapi harus dengan tangan
kita.”
“Kamu tidak punya hak!”
“Ini juga salah satu cara yang saya tempuh. Memang pahit, tapi
harus saya lakukan untuk menyatakan kebenaran!” tegas Tuan Amali.
“Kamu harus bisa mengendalikan kesabaran di sini.”
“Kesabaran bukan berarti diam ketika melihat kejahatan!”
Tuan Amali dan lelaki berkopiah coklay it uterus beradu mulut
sambil berjalan. Mereka kadang-kadang saling melihat. Jarak mereka merenggang
karena didesak orang-orang yang berjalan. Sesekali nada suaranya terdengar
ditinggikan. Lama-lama keduanya mungkin sudah tidak saling melihat wajah
masing-masing. Tapi adu mulut mereka masih terdengar hingga menjauh sebelum
pada akhirnya benar-benar menghilang dibalut keramaian.
Sementara itu anak-anak yang pura-pura buntung itu tetap duduk di
tempat. Sesekali mereka melihat ke sekeliling untuk mengetahui apakah ada
polisi pamong praja atau tidak. Memang polisi kadang-kadang mengobrak mereka,
tapi mereka segera bereaksi kembali ketika polisi telah menjauh.
Kucing-kucingan terus berlangsung karena polisi rupanya hanya gertak sambal,
tidak pernah menangkap dan menangani dengan serius.
Tuan Amali berhenti di depan pertokoan yang mempertemukan Jalan
Jabal Al-Kaabah dengan Jalan Al-Mahakim. Sinar matahari menyengat. Sajadah yang
dibawanya dipakai untuk menutup kepala. Dikenakannya kaca mata hitam lebar agak
tidak silau. Terasa ada keringat mengalir dari keningnya. Tuan Amali merenungi
tindakannya tadi hingga bertengkar mulut dengan lelaki berkopiah cokelat. Tuan
Amali menimbang-nimbang, dia tetap yakin bahwa niatnya mulia. Kota suci harus
dipertahankan kesuciannya. Beberapa saat dia tercenung di antara orang-orang
yang lalu lalang di depannya. Toko-toko di sepanjang jalan ini juga selalu
ramai.
Tiba-tiba Tuan Amali terkejut. Seorang lelaki tua bersongkok hitam
menadahkan tangan di depannya untuk meminta sedekah. Tuan Amali ingin menyebut
nama, tapi mulutnya masih tertahan oleh rasa bimbang. Dirogohnya saku kanan
untuk mengambil beberapa real dan diberikan kepada sang peminta. Lelaki tua itu
segera pergi dan melakukan hal yang sama kepada orang lain. Tuan Amali
memandanginya hingga jarak makin merenggang. Dia mulai yakin dengan lelaki
meminta-minta itu.
“Pak Dotil…!” seru Tuan Amali.
Dari jarak yang agak jauh lelaki yang diserunya tadi menoleh. Dia
mencari-cari siapa yang memanggil namanya. Tuan Amali tidak memberi reaksi
apa-apa. Lelaki tua tadi berjalan kembali. Sekarang Tuan Amali yakin lelaki tua
yang disapanya tadi benar-benar Pak Dotil, penduduknya sendiri yang tahun ini
juga menunaikan ibadah haji. Seperti kebanyakan warga di desanya, Pak Dotil
sendiri juga bekerja sebagai pengemis yang selalu mangkal di pintu Pasar Rebo.
Tahun ini dia naik haji ikut rombongan kota lain agar bisa serombongan dengan
saudaranya. Diselah-selah ibadah yang dilakukannya di kota ini ternyata Pak
Dotil memanfaatkannya juga untuk mengemis. Barangkali, bagi Pak Dotil, mengemis
juga bagian dari ibadah karena “rezeki di tangan Allah”.
Cuaca makin panas. Debu-debu tersaruk kaki para pejalan hingga
kurang nyaman di pernafasan. Tuan Amali berjalan mempercepat langkahnya
meninggalkan Jalan Jabal Al-Kaabah. Rasanya dia ingin segera berbicara dengan
Nyonya Tilah. Kata-kata yang sudah terlalu lama diingat oleh Tuan Amali muncul
kembali. Para peminta-minta itu selama hidupnya akan didera dengan kemiskinan.
Meski harta mereka sudah cukup, mereka akan merasa tetap miskin sehingga
menjadi peminta-minta sepanjang hidupnya. Tuan Amali yakin seyakin-yakinnya,
tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah.
Jawa Pos, Minggu 13
Juli 2014
Sumber: https://adhidreamtoparis.blogspot.com/2014/12/di-jalan-jabalal-kaabah-oleh-m.html
Kritik dan Esai Cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah
1. Tema cerpen di Jalan Jabal Al- Kaabah : Menceritakan sedang melakukan ibadah haji di tanah suci.
2. Tokoh cerpen di Jalan Jabal Al- Kaabah :
1. Kepala desa bernama Tuan Amali.
2. Nyonya Tilah.
3. Pak Mardho.
4. Pak Dotil.
3. Watak cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah :
1. Kepala desa bernama Tuan Amali bersifat baik.
2. Nyonya Tilah bersifat baik.
3. Pak Mardho bersifat baik.
4. Pak Dotil bersifat baik.
4. Latar cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah :
1.
Latar waktu : pagi hari.
2.
Latar tempat : Jalan Jabal Al-Ka’bah.
3.
Latar suasana : sedih dan kecewa.
5. Alur cerpen di Jalan
Jabal Al-Kaabah:
Alur pada cerita ini
menggunakan alur mundur, karena ceritanya dari awal hingga akhir tidak
berkelanjutan jadi cerpen tersebut rasa kekecewaan belum nampak jelas.
6. Sudut pandang cerpen di Jalan
Jabal Al- Kaabah:
Pada cerpen ini, penulis mengambil sudut
pandang tidak langsung. Karena penulis menuliskan
sebuah kisah atas apa yang dia dengar dari sebuah kejadian.
7. Amanat cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah:
1. Janganlah
jahat kepada orang lain.
2. Jangan pernah meminta-minta kepada orang lain. Lebih baik memberi daripada meminta.
Makna pada cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah :
Cerpen yang berjudul di Jalan Jabal Al-Kaabah karya
M. Shoim Anwar menceritakan tentang seorang kepala desa yang sedang melakukan
ibadah haji di tanah suci. Kepala desa tersebut bernama Tuan Amali, beliau
beranhkat ke tanah suci bersama istrinya yang bernama Nyonya Tilah. Pada saat
di Masjidil Haram Tuan Amali teringat pada anak-anak cacat yang meminta-minta
di jalan. Tuan Amali merasa belas kasihan terhadap anak-anak tersebut. Sejenak
Tuan Amali berpikir bahwa anak-anak tersebut adalah korban dari peperangan atau
mungkin ledakan bom. Tuan Amali dengan ikhlas memberi sedekah kepada anak-anak
yang cacat tersebut, karena niat Tuan Amali bersama Nyonya Tilah adalah
menjalankan perintah agama.
Kritik
Dalam cerpen yang berjudul di Jalan Jabal Al-Kaabah karya
M. Shoim Anwar menceritakan bahwa untuk Tuan Amali dan Nyonya Tilah telah
melaksanakan ibadah haji dan beliau merasa belas kasihan terhadap anak-anak
yang mengemis dengan keadaan fisik cacat tangannya. Namun, anak-anak tersebut
bukan cacat yang sebenarnya. Anak tersebut hanya berpura-pura cacat agar
orang-orang merasa simpati terhadapnya. Begitu pula Pak Dotil penduduk Tuan
Amali, Pak Dotil melaksanakan ibadah haji namun di tanah suci Pak Dotil
melakukan pekerjaannya yaitu meminta sedekah. Tuan Amali merasa sangat kecewa
dengan kejadian-kejadian tersebut termasuk kepada Pak Dotil. Cerpen tersebut
baik untuk dibaca namun, bagian akhir cerita tersebut tidak digambarkan secara
lebih lanjut mengenai rasa kekecewaan yang diterima oleh Tuan Amali.
Esai
Cerpen yang berjudul di Jalan Jabal Al-Kaabah karya
M. Shoim Anwar menceritakan tentang seorang kepala desa yang sedang melakukan
ibadah haji di tanah suci. Kepala desa tersebut bernama Tuan Amali, beliau
beranhkat ke tanah suci bersama istrinya yang bernama Nyonya Tilah. Pada saat
di Masjidil Haram Tuan Amali teringat pada anak-anak cacat yang meminta-minta
di jalan. Tuan Amali merasa belas kasihan terhadap anak-anak tersebut. Sejenak
Tuan Amali berpikir bahwa anak-anak tersebut adalah korban dari peperangan atau
mungkin ledakan bom. Tuan Amali dengan ikhlas memberi sedekah kepada anak-anak
yang cacat tersebut, karena niat Tuan Amali bersama Nyonya Tilah adalah
menjalankan perintah agama.
Sebelum berangkat ke tanah suci Tuan Amali diberi Pak Mardho
sebuah titipan yaitu doa agar Pak Mardho diberi kesembuhan atas segala
penyakitnya dan anaknya segeral lulus kuliah dengan bekerja yang mapan dan
jodoh. Beberapa kali Tuan Amali membaca titipan dari Pak Mardho. Suatu hari
ketika Tuan Amali juga mencoba mengajak Pak Mardho bercanda untuk mengenai
jodoh. Menurut Pak Mardho lahir, rezeki, jodoh, dan matti itu di tangan Allah.
Kata-kata “rezeki di tangan Allah” tersebut selalu diinga oleh Tuan Amali,
karena sebagian besar penduduk Tuan Amali adalah pengemis. Hingga penduduk Tuan
Amali dapat hidup sehari-hari dan membangun rumah dengan hasil mengemis
tersebut.
Hingga suatu saat Tuan Amali menjumpai seseorang sedang memotret
anak-anak yang sedang mengemis di jalan Jabal Al-Kaabah. Namun, pada saat akan
memotret ada seorang perempuan bercadar yang berusaha menghalangi. Menurut
orang-orang perempuan itu telah memperkerjakan anak-anak cacat tersebut. Hingga
pada akhirnya semua terbongkar dan anak-anak pengemis yang cacat tersebut
hanyalah berpura-pura. Mengetahui kejadian tersebut Tuan Amali merasa ditipu dan penipuan tidak boleh dibiarkan
begitu saja terlebih lagi penipuan tersebut terjadi di tanah suci. Tiba-tiba
datang seorang laki-laki berkopyah coklat dengan bersemangat mencoba membela
anak tersebut. Ketika berdebat dengan laki-laki tua berkopyah coklat tersebut, tiba-tiba
Tuan Amali terkejut melihat seorang lelaki tua bersongkok hitam yang menadahkan
tangan di depannya untuk meminta sedekah. Ternyata laki-laki tersebut adalah
Pak Dotil salah satu penduduknya yang sedangn melakukan ibadah haji. Seperti
penduduk yang lain Pak Dotil selama ini bekerja sebagai pengemis.
Kelebihan
dan kekurangan cerpen yang berjudul di Jalan Jabal Al-Kaabah :
Kelebihan : cerpen ini mudah dipahami dan sangat
menarik untuk dibaca, karena isi cerpen ini menceritakan tentang seorang kepala
desa yang sedang melakukan ibadah
haji di tanah suci.
Kekurangan
: Kata-katanya terlalu menyakiti orang dan menceritakan bagian akhir cerita tersebut tidak digambarkan secara lebih
lanjut mengenai rasa kekecewaan yang diterima oleh Tuan Amali.
Dari cerpen yang berjudul di Jalan
Jabal Al-Kaabah karya M. Shoim Anwar jika dikaitkan dengan kehupan
sekarang yaitu jangan pernah meminta-minta kepada orang lain. Lebih baik memberi
daripada meminta dan jangan berbohong kepada semua orang karena hal tersebut
termasuk dosa.