Sabtu, 10 April 2021

Kritik dan Esai cerpen "Tahi Lalat"

Tahi Lalat

 Cerpen M Shoim Anwar (Media Indonesia, 19 Februari 2017)

Tahi Lalat ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia

ADA tahi lalat di dada istri Pak Lurah. Itu kabar yang tersebar di tempat kami. Keberadaannya seperti wabah. Lembut tapi pasti. Mungkin orang-orang masih sungkan untuk mengatakannya secara terbuka. Mereka menyampaikan kabar itu dengan suara pelan, mendekatkan mulut ke telinga pendengar, sementara yang lain memasang telinga lebih dekat ke mulut orang yang sedang berbicara. Mereka manggut-manggut, tersenyum sambil membuat kode gerakan menggelembung di dada dengan dua tangan, lalu menudingkan telunjuk ke dada sendiri, sebagai pertanda telah mengerti.

“Awas, ini rahasia. Jangan bilang siapa-siapa!” kata Bakrul memulai pembicaraan sambil mendekatkan telunjuknya ke mulut.

“Di sebelah mana?” aku mengorek.

“Di sebelah kiri, agak ke samping,” jawab Bakrul.

“Besar?”

“Katanya sebesar biji randu.”

Mungkin karena keberadaannya sudah lebih jelas, akhirnya orang-orang saling memberi kode ketika berpapasan. Bila mereka sedang bergerombol, dan salah satu sudah memberi kode, yang lain mengacungkan jempolnya sebagai tanda mengerti. Bagi yang kurang yakin, pertanyaan akan langsung diteriakkan saat aku lewat.

Karena tak ingin diteriaki terus, aku mengacungkan jempol. Teriakan itu memicu yang lain untuk keluar rumah, lalu menuju pinggir jalan tempat aku lewat. Sebenarnya aku tak enak juga mendengar ejekan terhadap lurahku, meski waktu pemilihan aku tidak mencoblosnya. Maka, sebelum mereka berteriak, aku mengacungkan jempol terlebih dulu. Tapi karena niatnya mungkin mengejek, teriakan mereka pun bertambah santer.

Suara truk pengangkut material untuk pembangunan perumahan menderu-deru di jalan depan rumah yang rusak parah. Debu-debu itu sering dikeluhkan oleh anakku, Laela, setiap pulang sekolah. Entah mengapa Pak Lurah dan perangkatnya tak peduli dengan situasi itu. Pak Lurah justru tampak akrab dan sering keluar bareng dengan mobil pengembang perumahan itu.

“Di luar sana juga ada omongan soal kedekatan istri Pak Lurah dengan bos proyek perumahan,” aku membuka pembicaraan dengan istri.

“Kedekatan yang gimana lagi?” istriku mendongak.

“Bos proyek itu sering datang saat Pak Lurah tidak ada di rumah. Katanya juga pernah keluar bareng.”

Bulan depan adalah masa pendaftaran calon lurah atau kepala desa di sini. Konon Pak Lurah akan mencalonkan kembali untuk periode berikutnya. Tak ada yang bisa mencegahnya meski janji-janjinya yang dulu ternyata palsu.

“Ada unsur politik juga kayaknya,” kataku pada istri.

“Mengapa istri diikut-ikutkan?” dia mendongak.

“Citra perempuan lebih sensitif untuk dimainkan.”

“Pak Lurah telah menceraikan istrinya yang pertama. Ini istri kedua. Andai tetap dengan Bu Lurah yang dulu, tak akan tersiar kabar kayak begini.”

“Bisa jadi berita itu datangnya dari suaminya yang dulu.”

“Lo, Bu Lurah yang sekarang itu masih perawan. Selisih umurnya katanya dua puluh tahun,” istriku menegaskan sambil menyambut Laela yang baru pulang sekolah.

Pak Lurah tak pernah berkomentar atas pembicaraan yang menyangkut istrinya. Kami memilih diam ketika dia lewat. Ini berbeda ketika yang lewat istrinya. Orang-orang mendehem, pura-pura batuk ketika ada istri Pak Lurah, tersenyum dan menyapa basa-basi. Tapi, dari arah belakang, mereka membuat isyarat gerakan gelembung di dada, kemudian menuding-nudingkan telunjuk ke dada sebelah kiri.

Jujur kukatakan, Pak Lurah juga sering menggunakan cara-cara kotor. Selama menjabat, tidak sedikit warga yang kehilangan sawah ladang dan berganti dengan perumahan mewah⁷. Warga yang tinggal di tempat strategis, melalui perangkat desa Pak Bayan, dirayu untuk menjual tanahnya dengan harga yang lumayan mahal. Begitu tanah-tanah yang strategis itu terlepas dari pemiliknya, Pak Lurah semakin gencar membujuk yang lain dengan cara memanggilnya ke kantor kelurahan.

“Kalau tidak mau menjual, akan dipagari oleh pengembang perumahan,” begitulah kata-kata intimidasi yang sering dilontarkan Pak Bayan kepada warga.

“Lama-lama desa ini habis terjual,” kataku pada Pak Bayan.

“Habis gimana?” jawab Pak Bayan enteng.

“Bilang sama Pak Lurah,” aku melanjutkan, “mestinya kehidupan kami diperbaiki agar makmur. Diciptakan lapangan kerja baru. Bukan mengancam agar rakyat menjual tanahnya kayak kompeni.”

“Kalau ada perumahan, pasti warga dapat kesempatan kerja.”

“Jadi kuli dan babu!” aku menyergah.

Aku yakin, warga asli sini kelak akan jadi buruh pembersih rumput dan tukang sapu di wilayah perumahan. Sambil duduk di tanah, mereka menatap rumah-rumah mewah, dengan badan kurus kurang gizi dan napas kembang kempis digerogoti usia, mereka akan menuding sambil berkata, “Itu dulu tanah milik saya. Batasnya dari sana hingga ke sana. Luaaas sekali….”

Semakin mendekati masa pendaftaran calon lurah, berita adanya tahi lalat di dada istri Pak Lurah semakin santer. Bumbu-bumbu pembicaraan makin banyak. Pembicaraan tidak hanya tertumpu pada tahi lalat di dada istri Pak Lurah, tapi meluas hingga sekujur tubuh istri Pak Lurah ditelanjangi.

Aku yakin Pak Lurah dan istrinya sudah mencium kasak-kusuk di sekitarnya. Mungkin untuk mengamankan pencalonannya kembali sebagai lurah, dia sengaja memilih diam dengan harapan pembicaraan itu akan menghilang dengan sendirinya. Tapi, dengan sikap diamnya itu, aku curiga jangan-jangan pembicaraan itu benar adanya. Kata-kata ‘diam pertanda setuju’ hadir dalam pikiranku. Memang, Pak Lurah dan istrinya serba salah. Apa pun yang dikatakannya dijamin tidak akan dapat meyakinkan tanpa bukti fisik.

“Apa tidak mungkin jika salah seorang ibu PKK diminta mendekati Bu Lurah?” kataku pada istri.

“Untuk apa?”

“Menanyakan kepastian ada tidaknya tahi lalat itu.”

“Terus kalau tidak ada mau apa?”

“Ya biar jelas dong,” jawabku pura-pura lega.

“Terus kalau benar-benar ada?” istriku mengejar lagi.

“Orang-orang akan puas,” aku bergaya manggut-manggut. “Akhirnya mereka kan berhenti ngrasani.”

“Ehmm, untuk apa!” istriku melengos.

Dari awal aku sudah punya pikiran bahwa pembicaraan itu punya maksud lebih besar. Tidak penting apakah di dada istri Pak Lurah ada tahi lalatnya atau tidak. Di sebelah kiri atau kanan juga tak penting. Sebesar biji randu atau sebesar kelapa pun tak masalah. Yang sangat rawan adalah, bila benar-benar ada, kok sampai ada yang tahu? Siapa pun yang mengetahui tahi lalat di tempat rahasia itu pasti dia adalah orang yang punya hubungan khusus dengan istri Pak Lurah. Bila ditafsirkan lagi, perempuan itu sudah menjadi istri Pak Lurah saat menjalin hubungan khusus dengan orang tadi.

Siang yang terik. Truk-truk pengangkut material menderu-deru melewati kampung kami untuk menguruk sawah warga yang telah terbeli. Jalan makin rusak parah. Aku berjalan menyisir di tepi kanan. Dari arah berlawanan tampak mobil Jeep hitam berhenti. Sepertinya telah lama. Beberapa saat muncul Pak Bayan dari arah yang sama. Lelaki itu memacu motornya agak kencang. Kami berpapasan. Pak Bayan tak berkata apa-apa.

Jeep yang tadi berhenti tampak bergerak. Sepertinya gas ditancap sehingga melaju terguncang-guncang di jalan yang bergeronjal. Debu-debu membalutnya. Terasa ada yang aneh. Kendaraan itu melaju makin kencang di sisi kanan. Ternyata Jeep itu menggasakku. Spontan aku meloncat ke seberang parit. Aku tak tahu siapa pengendaranya. Cuk! Tubuhku terjatuh ke rumpun bambu. Duri-duri tajam menancap di sana-sini. Aku berdarah-darah.

Sampai di rumah aku masih tak habis pikir, setan keparat mana yang mengendarai Jeep tadi. Aku mengumpat-ngumpat sendiri. Dari arah depan terdengar suara Laela pulang dari sekolah. Dia setengah berlari menghampiri aku dan ibunya.

“Gambarku bagus, ya?” Laela menyodorkan buku gambarnya yang terbuka.

“Gambar apa ini?” aku bertanya sambil menerimanya.

“Orang.”

Anak perempuanku, kelas dua sekolah dasar, menggambar orang dengan rambut sepundak. Wajah dan tubuhnya diberi warna cokelat kekuningan. Bibirnya dibuat merah menyala.

“Ini orang laki apa perempuan?”

“Perempuan,” ia menunjuk ke gambarnya. Dada gambar itu memang dibuat kayak ada belahannya dengan disanggah angka tiga menghadap ke atas.

“Terus titik besar berwarna hitam ini apa?”

“Itu tahi lalat,” jawab anakku enteng.

“Tahi lalat apa?”

“Tahi lalat di dada istri Pak Lurah.”

“Haaa…??!!!” aku heran dan terhenyak. Istriku juga tampak terbengong-bengong. Kami saling memandang. Tak bicara apa-apa. Entah bagaimana ceritanya Laela tiba-tiba menunjukkan gambar perempuan yang bertahi lalat di dadanya. Persis gunjingan yang hari-hari ini kami dengar.

“Ini tahi lalat di dada istri Pak Lurah…” kembali anakku menuding gambar yang telah dibuatnya. Kami hanya tersenyum. Kecut dan heran.

2017

 catatan:

Di daerah Jawa, istilah kepala desa lazim disebut lurah

M Shoim Anwar, cerpenis dan peneliti sastra. Hasil risetnya tentang jejak Soeharto dalam sastra Indonesia memperoleh banyak apresiasi di kalangan akademisi sastra. Buku fiksi terkininya Kutunggu di Jarwal (2014).


Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id

Kritik/esai cerpen “Tahi Lalat”

Dari segi makna atau isi cerpen "Tahi Lalat" sebagai berikut : 

   Cerpen ini menceritakan tentang kehidupan sosial di kampung, Karena menceritakan seorang Lurah tidak adil kepada masyarakatnya dan selalu bertindak sesuai dengan keinginanya. Menceritakan kebiasaan buruk masyarakat kampung karena suka membuat isu dan ngerasani orang padahal belum tentu kebenarannya. Laela, anak kecil yang suka menirukan orang dewasa, apa lagi yang sedang hangat dibicarakan orang-orang. Laela menggambar seorang perempuan yang ada Tahi Lalat hitam di dadanya.

Cerpen "Tahi Lalat" di atas dapat diketahui beberapa kesimpulan kritik esai dari berbagai aspek, seperti:
1. Tema

Tema yang digunakan dalam cerpen ini adalah tema tradisional. Bagaimana tradisi di masyarakat atas kabar atau berita terkini. Hanya dari mulut ke mulut, kabar atau berita tersebut sudah tersebar luas tanpa diketahui kebenaran aslinya bagaimana.

2. Tokoh/penokohan
            Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Tokoh cerita menempati posisi sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.

Penggambaran tokoh dalam cerita ini bukan sebagai pelaku utama melainkan pelaku sampingan. Karena tidak disampaikan siapa pelaku hanya sebagai pokok pembicaraan. Tetapi yang menjadi tokoh utama justru pelaku sampingan.Di luar sana juga ada omongan soal kedekatan istri Pak Lurah dengan bos proyek perumahan, aku membuka pembicaraan dengan istri.

Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa pelaku sampingan menceritakan bagaimana pelaku utama. Pelaku utama hanya sebagai bahan pembicaraannya saja.
3. Latar

Penempatan letak waktu, tempat, dan keadaan dalam sebuah karya tulis.  Ada beberapa unsur yang digambarkan dalam cerpen ini, seperti :
Waktu :

Siang yang terik. Truk-truk pengangkut material menderu-deru melewati kampung kami untuk menguruk sawah warga yang telah terbeli. Jalan makin rusak parah. Aku berjalan menyisir di tepi kanan. Dari arah berlawanan tampak mobil Jeep hitam berhenti. Sepertinya telah lama. Beberapa saat muncul Pak Bayan dari arah yang sama. Lelaki itu memacu motornya agak kencang. Kami berpapasan. Pak Bayan tak berkata apa-apa.

Dari kutipan di atas, latar waktu yang diambil adalah siang hari. Kata pertama di awal kalimat tersebut.
Tempat : Sampai di rumah aku masih tak habis pikir, setan keparat mana yang mengendarai Jeep tadi. Aku mengumpat-ngumpat sendiri. Dari arah depan terdengar suara Laela pulang dari sekolah. Dia setengah berlari menghampiri aku dan ibunya.

4. Alur. Alur pada cerita ini menggunakan alur maju, sebab ceritanya dari awal hingga akhir berkelanjutan mulai dari terdengarnya kabar angin itu hingga diakhir dengan kabar angin pula.

5. Sudut pandang

Pada cerpen ini, penulis mengambil sudut pandang tidak langsung. Karena penulis menuliskan sebuah kisah atas apa yang dia dengar dari sebuah kejadian.
6. Gaya bahasa adalah 
Dari beberapa kalimat yang terdapat dalam penggalan cerita di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa yng digunakan dalam karya ini banyak mengandung kalimat konotasi. Bahasa bukan sebenarnya. Terlihat lebih terbuka dari segi penyampaian maknanya. Biasanya bahasa yang digunakan ini, bisa menimbulkan tanda tanya bagi yang membacanya dengan mata telanjag. Tetapi karya tulis ini bisa dikategorikan menarik, sebab bahasanya yang dapat memikat seseorang untuk mencari tau akibat rasa penasaran.

7. Amanat

Pada cerpen ini, ada beberapa pesan atau amanat yang dapat ditarik, yaitu:
Jangan pernah mengambil suatu keputusan dari apa yang baru di dengar jika belum diketahui kejelasannya.Jangan mudah percaya atas segala kabar yang belum jelas arahnya.

Dari cerpen "Tahi Lalat" diatas jika dikaitkan dengan kehidupan sekarang yaitu  jangan pernah menceritakan privasi orang lain yang belum tentu saja benar, dan jangan mudah percaya terhadap orang lain. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar