Jumat, 16 April 2021

Kritik dan esai cerpen "di Jalan Jabal Al-Kaabah"

 

Cerpen Mingguan....

Rabu, 31 Desember 2014

Di Jalan Jabal Al-Kaabah

OLEH M. SHOIM ANWAR

Dari arah Jarwal Al-Tayssir kendaraan itu meluncur mendahului para pejalan kaki yang semakin ramai, melewati Jabal Al-Kaabah Street hingga tembus ke Umm Al-Qura Road. Jalanan menanjak dan beberapa saat kemudian menurun kembali. Suasana mulai terasa berbeda karena lampu-lampu yang menyala. Angkutan itu lantas berbalik arah, menuju jalur di sebelah kirinya untuk menurunkan penumpang di pemberhentian. Bunyi menderu di terowongan bawah tanah Ibrahim Al-Khalil Road. Kendaraan yang datang dan pergi, generator, travo, blower, dan lampu-lampu listrik tegangan tinggi terasa menggetarkan seluruh ruang.

Setelah turun dari angkutan umum, dengan langkah tergesa, Tuan Amali menaiki eskalator. Istrinya, Nyonya Tilah, setengah berlari mengikuti langkah sang suami. Orang-orang pun terburu mengejar waktu. Eskalator itu naik dan menyembul di pelataran sehingga orang-orang tampak seperti muncul dari dalam tanah. Tahu-tahu mereka telah sampai di halaman Masjidil Haram di samping Hotel Dar Al-Tawhid. Tuan Amali dan Nyonya Tilah berjalan di halaman sebelah kiri. Lewat pintu samping mereka lantas naik ke lantai ketiga, melewati pintu nomor 66 bertuliskan Al-Shebyka Escalator. Di lantai teratas tanpa atap itu sudah hamper dipenuhi orang, tapi suasana khusuk sangat terasa. Tuan Amali tertegun sejenak sambil pandangannya menerawang.

“Aku teringat anak-anak cacat yang meminta-minta di jalan sana,” katanya sambil menuding ke arah jalan.

“Ya, sudah agak lama kita tidak memberi mereka,” Nyonya Tilah menimpali.

“Besok kita sempatkan jalan kaki agar bisa memberi.”

“Semoga Allah selalu memberi rezeki buat mereka semua.”

“Siapa tahu mereka adalah malaikat yang diutus Allah untuk menguji rasa belas kasihan kita,” kata Tuan Amali.

Hari-hari terakhir ini Tuan Amali dan Nyonya Tilah naik kendaraan untuk menghemat tenaga. Sebelum itu mereka selalu berjalan kaki saat pulang dan pergi ke Masjidil Haram. Dia selalu melihat deretan anak-anak berkulit hitam duduk di tanah sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang putus pertanda meminta sedekah. Dengan baju lusuh warna gelap mereka menongolkan lengan buntungnya agar dilihat semua orang yang lewat. Mereka hampir selalu muncul selepas Jalan Jabal Al-Kaabah hingga mendekati area masjid. Dengan ekspresi memelas mereka mengharap belas kasihan kepada orang-orang yang lewat. Tuan Amali berpikir anak-anak yang malang itu adalah korban peperangan, atau terkena ledakan bom hingga kedua lengan mereka putus. Kemungkinan lain mereka menderita kelainan genetis akibat pernikahan antar penderita sehingga cacat fisik muncul secara dominan dari bawaan orang tua. Usia mereka, baik yang laki maupun perempuan, sekitar sepuluh tahun ke bawah. Mereka selalu duduk berdekatan sekitar lima anak.

Seperti orang-orang lain Tuan Amali dan Nyonya Tilah juga sering memberikan sedekah kepada anak-anak buntung yang malang itu. Uang sedekah diletakkan dipangkuan mereka. Tentu mereka memperoleh jumlah yang besar karena banyak orang mengasihani dari hari ke hari. Tuan Amali dan istrinya bersedekah dengan penuh keikhlasan mengingat kedatangan ke kota itu juga untuk menjalankan perintah agama. Sedekah yang ikhlas seikhlas-ikhlasnya, ibarat tangan kanan memberi dan tangan kiri tak mengetahuinya.

“Jangan lupa titipan doa dari Pak Mardho,” kata Nyonya Tilah.

“Oh ya,” Tuan Amali mengangguk, ingat pesan Pak Mardho yang minta didoakan di lantai teratas masjid ini sambil menghadap Kabah. Semoga Pak Mardho diberi kesembuhan atas segala penyakitnya. Anak perempuannya, si Ayu, semoga segera lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan dan jodoh yang mapan. Sudah beberapa kali pesan Pak Mardho yang ditulisnya di atas kertas itu dibaca oleh Tuan Amali. Sebagai perangkat desa yang menjadi bawahan Tuan Amali, Pak Mardho juga minta didoakan agar tidak terlalu lama menduda. Dua hari sebelum berangkat Tuan Amali sempat bercanda dengan Pak Mardho, bapaknya atau anaknya yang diharap mendapatkan jodoh terlebih dulu? Bukankah si Ayu selama ini ke mana-mana selalu berdua dengan lelaki sepupunya sendiri? Waktu diundang berbuka puasa bersama tempo hari si Ayu juga tidak dating karena ada syukuran di rumah sepupunya itu?

“Lahir, rezeki, jodoh, dan mati di tangan Allah,” jawab Pak Mardho.

“Rezeki di tangan Allah…,” Tuan Amali menimpali sambil tertawa.

“Doakan juga agar pemikiran penduduk kita berubah.”

Kata-kata “rezeki di tangan Allah” itulah yang hampir selalu menjadi bahan ingatan Tuan Amali. Sebagai kepala desa yang bukan penduduk asli di sini, segala usaha Tuan Amali dan perangkatnya selalu gagal untuk mengubah jalan hidup penduduknya. Sebagian besar penduduk Tuan Amali adalah pengemis secara turun-temurun. Alasan mereka selalu sama,” rezeki di tangan Allah”, maka ketika tangan mereka menadah dan orang lain mengulurkan tangannya untuk memberi adalah perwujudan “rezeki di tangan Allah”. Pagi-pagi mereka menyebar ke berbagai tujuan. Ada yang berpakain jelek dan kumal agar menimbulkan belas kasihan, ada pula yang berpakaian sewajarnya.

Mereka yang mengemis secara berkelompok akan membagi penghasilan mereka. Hasil mengemis hari Senin untuk si A, hari Selasa untuk si B, hari Rabu untuk si C, dan seterusnya. Kadang mereka juga bersepakat membagi secara merata penghasilan dalam seminggu. Mereka bisa hidup, buat rumah, beli sawah, beli ternak, beli kendaraan, dan semacamnya dari hasil mengemis. Mereka ada yang mengemis dengan menyewa kendaraan dan pengeras suara untuk berkeliling dari kota ke kota, masuk ke pasar-pasar dan tempat-tempat ramai dengan menyodorkan kaleng, serta ada pula yang mencegat di jalan-jalan. Juga ada di antara mereka yang mengemis memakai surat atau proposal yang terlaminating hingga kumal. Di mata para kepala desa yang lain, karena desanya dikenal sebagai ”desa pengemis”, Tuan Amali sering dijuluki sebagai “lurahnya pengemis”.

Tuan Amali dan istrinya telah menunaikan salat sunah beberapa kali. Sambil menghadap ke arah Kabah Tuan Amali memanjatkan doa untuk diri dan keluarganya, untuk Pak Mardho, dan yang terakhir untuk penduduknya di kampung halaman sana.

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau tidak akan mengubah nasib suatu kaum itu sendiri tidak mau mengubah nasibnya. Untuk itu ya Allah, hamba memohon kepada-Mu agar membuka hati dan sifat peminta-minta. Berikan mereka jalan hidup dan penghidupan yang lebih terhormat….”

Di saat Tuan Amali khusuk berdoa, helikopter itu datang kembali, berputar-putar dengan dengan suara menderu. Setiap kali melintas di atas kepala, orang yang duduk bersila melihatnya dengan pandangan menyerah, seperti menyaksikan kedatangan malaikat yang hendak menentukan nasib mereka selanjutnya. Dari lantai yang paling atas Masjidil Haram ini langit memamang selalu tampak kerontang. Heli warna kuning itu tak ubahnya penguasa tunggal yang mengawasi seluruh gerak-gerik ribuan orang di bawahnya. Ketika heli itu menjauh orang-orang pun kembali menunduk dengan khusyuk, melafalkan ayat-ayat dan doa-doa harapan. Sementara deru heli masih tersisa di telinga. Sebentar lagi dia akan lenyap sebelum datang kembali beberapa saat kemudian.

Matahari condong ke akar langit. Bayangan Sembilan menara bulan sabit sudah tampak merebah panjang. Tuan Amali dan Nyonya Tilah melihat di balik tiga buah kubah warna cokelat juga telah meneduh. Para jamaah memanfaatkannya dari sengatan matahari. Bukit-bukit dan bangunan-bangunan jangkung di sekeliling semakin jelas dalam pandangan. Sebentar lagi lampu-lampu di ujung tiang akan segera menyala, lalu disusul kumandang adzan yang menyeru dari pengeras suara di tiap-tiap menara dan tiang. Ketika salat suara imam menggema ke langit bersama embusan angina yang hening. Tuan Amali dan istrinya merasa sangat kecil di hadapan kebesaran Sang Pencipta.

Jalan Jabal Al-Kaabah adalah wilayah yang sangat ramai karena merupakan akses mendekati masjid. Hari ini Tuan Amali tanpa didampingi Nyonya Tilah karena istrinya mengeluh kecapekan. Di depan Al Hadeel Hotel, di saat situasi sangat ramai, Tuan Amali melihat seseorang memotret salah satu anak buntung yang meminta-minta. Tiba-tiba seorang perempuan bercadar hitam menghalangi pemotretan itu. Maksudnya sangat jelas, si anak dilarang dipotret. Ada yang bilang perempuan bercadar itulah yang memperkerjakan anak-anak tersebut untuk meminta-minta. Keganjilan lain segera terkuak. Seorang perempuan lain nekat mendekati salah satu anak dan meraba-raba lengan atasnya hingga ke dekat leher. Dengan cepat pakaian anak itu ditarik kesamping. Maka terkuaklah kebohongan mereka. Ternyata lengan anak-anak itu tidak buntung, melainkan ditekuk sebatas pergelangan lantas dimasukkan ke dalam baju. Pantas mereka hanya menongolkan ujungnya saja karena takut ketahuan lekuk lengannya yang disembunyikan.

Mengetahui kejadian itu tiba-tiba Tuan Amali merasa perlu bertindak lebih jauh. Dia merasa selama ini anak-anak itu sudah menipu orang banyak. Ini adalah tanah suci. Penipuan tidak boleh dibiarkan di depan mata. Dengan agak kasar Tuan Amali hendak membuka pakaian salah satu anak yang pura-pura bunting itu. Si anak menolak. Mungkin karena jengkel, tubuh anak itu didorong-dorong dan ditebah dengan sajadah. Perempuan bercadar yang memperalat si anak tampak segera mendekat. Tapi seorang lelaki lain berkopiah cokelat dengan nada bersemangat mencoba membela si anak.

“Apa urusanmu dengan dia?” katanya dengan nada tinggi, mimiknya tampak serius.

“Mereka telah mengotori tanah suci!” jawab Tuan Amali tak kalah sengit.

“Mereka tidak memaksa. Tidak ada yang dirugikan. Kalau kamu tidak mau memberi ya sudah!”

“Niat saya hanya satu, menyingkap kebohongan terhadap orang banyak!” tambahnya. Keduanya sambil tetap berjalan dalam kerumunan. Beberapa orang melihat ke arah mereka secara bergantian.

“Meminta-minta adalah urusan pribadi!”

“Tapi meminta-minta dengan cara menipu tidak bisa dibenarkan.”

“Mereka anak-anak yang miskin!” lelaki berkopiah coklat itu menuding-nuding ke belakang.

“Anak-anak itu mungkin tidak miskin. Mereka diperalat oleh perempuan tadi!”

“Mengapa kamu tidak berani bilang begitu sama dia?”

“Omongan sudah tidak mempan buat dia, tapi harus dengan tangan kita.”

“Kamu tidak punya hak!”

“Ini juga salah satu cara yang saya tempuh. Memang pahit, tapi harus saya lakukan untuk menyatakan kebenaran!” tegas Tuan Amali.

“Kamu harus bisa mengendalikan kesabaran di sini.”

“Kesabaran bukan berarti diam ketika melihat kejahatan!”

Tuan Amali dan lelaki berkopiah coklay it uterus beradu mulut sambil berjalan. Mereka kadang-kadang saling melihat. Jarak mereka merenggang karena didesak orang-orang yang berjalan. Sesekali nada suaranya terdengar ditinggikan. Lama-lama keduanya mungkin sudah tidak saling melihat wajah masing-masing. Tapi adu mulut mereka masih terdengar hingga menjauh sebelum pada akhirnya benar-benar menghilang dibalut keramaian.

Sementara itu anak-anak yang pura-pura buntung itu tetap duduk di tempat. Sesekali mereka melihat ke sekeliling untuk mengetahui apakah ada polisi pamong praja atau tidak. Memang polisi kadang-kadang mengobrak mereka, tapi mereka segera bereaksi kembali ketika polisi telah menjauh. Kucing-kucingan terus berlangsung karena polisi rupanya hanya gertak sambal, tidak pernah menangkap dan menangani dengan serius.

Tuan Amali berhenti di depan pertokoan yang mempertemukan Jalan Jabal Al-Kaabah dengan Jalan Al-Mahakim. Sinar matahari menyengat. Sajadah yang dibawanya dipakai untuk menutup kepala. Dikenakannya kaca mata hitam lebar agak tidak silau. Terasa ada keringat mengalir dari keningnya. Tuan Amali merenungi tindakannya tadi hingga bertengkar mulut dengan lelaki berkopiah cokelat. Tuan Amali menimbang-nimbang, dia tetap yakin bahwa niatnya mulia. Kota suci harus dipertahankan kesuciannya. Beberapa saat dia tercenung di antara orang-orang yang lalu lalang di depannya. Toko-toko di sepanjang jalan ini juga selalu ramai.

Tiba-tiba Tuan Amali terkejut. Seorang lelaki tua bersongkok hitam menadahkan tangan di depannya untuk meminta sedekah. Tuan Amali ingin menyebut nama, tapi mulutnya masih tertahan oleh rasa bimbang. Dirogohnya saku kanan untuk mengambil beberapa real dan diberikan kepada sang peminta. Lelaki tua itu segera pergi dan melakukan hal yang sama kepada orang lain. Tuan Amali memandanginya hingga jarak makin merenggang. Dia mulai yakin dengan lelaki meminta-minta itu.

“Pak Dotil…!” seru Tuan Amali.

Dari jarak yang agak jauh lelaki yang diserunya tadi menoleh. Dia mencari-cari siapa yang memanggil namanya. Tuan Amali tidak memberi reaksi apa-apa. Lelaki tua tadi berjalan kembali. Sekarang Tuan Amali yakin lelaki tua yang disapanya tadi benar-benar Pak Dotil, penduduknya sendiri yang tahun ini juga menunaikan ibadah haji. Seperti kebanyakan warga di desanya, Pak Dotil sendiri juga bekerja sebagai pengemis yang selalu mangkal di pintu Pasar Rebo. Tahun ini dia naik haji ikut rombongan kota lain agar bisa serombongan dengan saudaranya. Diselah-selah ibadah yang dilakukannya di kota ini ternyata Pak Dotil memanfaatkannya juga untuk mengemis. Barangkali, bagi Pak Dotil, mengemis juga bagian dari ibadah karena “rezeki di tangan Allah”.

Cuaca makin panas. Debu-debu tersaruk kaki para pejalan hingga kurang nyaman di pernafasan. Tuan Amali berjalan mempercepat langkahnya meninggalkan Jalan Jabal Al-Kaabah. Rasanya dia ingin segera berbicara dengan Nyonya Tilah. Kata-kata yang sudah terlalu lama diingat oleh Tuan Amali muncul kembali. Para peminta-minta itu selama hidupnya akan didera dengan kemiskinan. Meski harta mereka sudah cukup, mereka akan merasa tetap miskin sehingga menjadi peminta-minta sepanjang hidupnya. Tuan Amali yakin seyakin-yakinnya, tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah.

Jawa Pos, Minggu 13 Juli 2014       

Sumber: https://adhidreamtoparis.blogspot.com/2014/12/di-jalan-jabalal-kaabah-oleh-m.html

Kritik dan Esai Cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah

1. Tema cerpen di Jalan Jabal Al- Kaabah :                 Menceritakan sedang melakukan ibadah haji       di tanah suci.

2. Tokoh cerpen di Jalan Jabal Al- Kaabah :

 1. Kepala desa bernama Tuan Amali.

 2. Nyonya Tilah.

 3. Pak Mardho.

 4. Pak Dotil.

3. Watak cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah : 

1. Kepala desa bernama Tuan Amali bersifat            baik.

2. Nyonya Tilah bersifat baik.

3. Pak Mardho bersifat baik.

4. Pak Dotil bersifat baik.

4. Latar cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah :

1.     Latar waktu : pagi hari.

2.     Latar tempat : Jalan Jabal Al-Ka’bah.

3.     Latar suasana : sedih dan kecewa.

5. Alur cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah:

Alur pada cerita ini menggunakan alur mundur, karena ceritanya dari awal hingga akhir tidak berkelanjutan jadi cerpen tersebut rasa kekecewaan belum nampak jelas.

6. Sudut pandang cerpen di Jalan Jabal Al-                  Kaabah:

Pada cerpen ini, penulis mengambil sudut pandang tidak langsung. Karena penulis menuliskan sebuah kisah atas apa yang dia dengar dari sebuah kejadian.

7. Amanat cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah:

 1. Janganlah jahat kepada orang lain.

 2. Jangan pernah meminta-minta kepada orang        lain. Lebih baik memberi daripada meminta.

Makna pada cerpen di Jalan Jabal Al-Kaabah :

Cerpen yang berjudul di Jalan Jabal Al-Kaabah karya M. Shoim Anwar menceritakan tentang seorang kepala desa yang sedang melakukan ibadah haji di tanah suci. Kepala desa tersebut bernama Tuan Amali, beliau beranhkat ke tanah suci bersama istrinya yang bernama Nyonya Tilah. Pada saat di Masjidil Haram Tuan Amali teringat pada anak-anak cacat yang meminta-minta di jalan. Tuan Amali merasa belas kasihan terhadap anak-anak tersebut. Sejenak Tuan Amali berpikir bahwa anak-anak tersebut adalah korban dari peperangan atau mungkin ledakan bom. Tuan Amali dengan ikhlas memberi sedekah kepada anak-anak yang cacat tersebut, karena niat Tuan Amali bersama Nyonya Tilah adalah menjalankan perintah agama.

Kritik

Dalam cerpen yang berjudul di Jalan Jabal Al-Kaabah karya M. Shoim Anwar menceritakan bahwa untuk Tuan Amali dan Nyonya Tilah telah melaksanakan ibadah haji dan beliau merasa belas kasihan terhadap anak-anak yang mengemis dengan keadaan fisik cacat tangannya. Namun, anak-anak tersebut bukan cacat yang sebenarnya. Anak tersebut hanya berpura-pura cacat agar orang-orang merasa simpati terhadapnya. Begitu pula Pak Dotil penduduk Tuan Amali, Pak Dotil melaksanakan ibadah haji namun di tanah suci Pak Dotil melakukan pekerjaannya yaitu meminta sedekah. Tuan Amali merasa sangat kecewa dengan kejadian-kejadian tersebut termasuk kepada Pak Dotil. Cerpen tersebut baik untuk dibaca namun, bagian akhir cerita tersebut tidak digambarkan secara lebih lanjut mengenai rasa kekecewaan yang diterima oleh Tuan Amali.

Esai

Cerpen yang berjudul di Jalan Jabal Al-Kaabah karya M. Shoim Anwar menceritakan tentang seorang kepala desa yang sedang melakukan ibadah haji di tanah suci. Kepala desa tersebut bernama Tuan Amali, beliau beranhkat ke tanah suci bersama istrinya yang bernama Nyonya Tilah. Pada saat di Masjidil Haram Tuan Amali teringat pada anak-anak cacat yang meminta-minta di jalan. Tuan Amali merasa belas kasihan terhadap anak-anak tersebut. Sejenak Tuan Amali berpikir bahwa anak-anak tersebut adalah korban dari peperangan atau mungkin ledakan bom. Tuan Amali dengan ikhlas memberi sedekah kepada anak-anak yang cacat tersebut, karena niat Tuan Amali bersama Nyonya Tilah adalah menjalankan perintah agama.

Sebelum berangkat ke tanah suci Tuan Amali diberi Pak Mardho sebuah titipan yaitu doa agar Pak Mardho diberi kesembuhan atas segala penyakitnya dan anaknya segeral lulus kuliah dengan bekerja yang mapan dan jodoh. Beberapa kali Tuan Amali membaca titipan dari Pak Mardho. Suatu hari ketika Tuan Amali juga mencoba mengajak Pak Mardho bercanda untuk mengenai jodoh. Menurut Pak Mardho lahir, rezeki, jodoh, dan matti itu di tangan Allah. Kata-kata “rezeki di tangan Allah” tersebut selalu diinga oleh Tuan Amali, karena sebagian besar penduduk Tuan Amali adalah pengemis. Hingga penduduk Tuan Amali dapat hidup sehari-hari dan membangun rumah dengan hasil mengemis tersebut.

Hingga suatu saat Tuan Amali menjumpai seseorang sedang memotret anak-anak yang sedang mengemis di jalan Jabal Al-Kaabah. Namun, pada saat akan memotret ada seorang perempuan bercadar yang berusaha menghalangi. Menurut orang-orang perempuan itu telah memperkerjakan anak-anak cacat tersebut. Hingga pada akhirnya semua terbongkar dan anak-anak pengemis yang cacat tersebut hanyalah berpura-pura. Mengetahui kejadian tersebut Tuan Amali merasa ditipu dan penipuan tidak boleh dibiarkan begitu saja terlebih lagi penipuan tersebut terjadi di tanah suci. Tiba-tiba datang seorang laki-laki berkopyah coklat dengan bersemangat mencoba membela anak tersebut. Ketika berdebat dengan laki-laki tua berkopyah coklat tersebut, tiba-tiba Tuan Amali terkejut melihat seorang lelaki tua bersongkok hitam yang menadahkan tangan di depannya untuk meminta sedekah. Ternyata laki-laki tersebut adalah Pak Dotil salah satu penduduknya yang sedangn melakukan ibadah haji. Seperti penduduk yang lain Pak Dotil selama ini bekerja sebagai pengemis.

Kelebihan dan kekurangan cerpen yang berjudul  di Jalan Jabal Al-Kaabah :

Kelebihan    : cerpen ini mudah dipahami dan                               sangat menarik untuk dibaca,                                    karena isi cerpen ini                                                    menceritakan tentang seorang                                  kepala desa yang sedang                                            melakukan ibadah haji di tanah                                suci.

Kekurangan : Kata-katanya terlalu menyakiti                                  orang dan menceritakan bagian                                akhir cerita tersebut tidak                                          digambarkan secara lebih lanjut                              mengenai rasa kekecewaan                                        yang diterima oleh Tuan Amali.

Dari cerpen yang berjudul di Jalan Jabal Al-Kaabah karya M. Shoim Anwar jika dikaitkan dengan kehupan sekarang yaitu  jangan pernah meminta-minta kepada orang lain. Lebih baik memberi daripada meminta dan jangan berbohong kepada semua orang karena hal tersebut termasuk dosa.

 

 

 




       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar