Selasa, 15 Juni 2021

Kritik/Esai Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia karya Taufiq Ismail

 Puisi Taufiq Ismail dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.


Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia

I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga

Ke Wisconsin aku dapat beasiswa

Sembilan belas lima enam itulah tahunnya

Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia 


Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia

Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda

Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,

Whitefish Bay kampung asalnya

Kagum dia pada revolusi Indonesia 


Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya

Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama

Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya

Dadaku busung jadi anak Indonesia


Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy

Dan mendapat Ph.D. dari Rice University

Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army

Dulu dadaku tegap bila aku berdiri

Mengapa sering benar aku merunduk kini 


II
Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.

III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor

satu,


Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang

curang susah dicari tandingan, 


Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu

dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara

hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,


Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,

senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan

peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk

kantung jas safari,


Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,

anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,

menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar

orangtua mereka bersenang hati,


Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat
-

sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-

besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,


Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan

sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak

putus dilarang-larang,


Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat

belanja modal raksasa,


Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,

ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang

saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan

pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan

diinjak dan dilunyah lumat-lumat, 


Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak

rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya

dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek

Jakarta secara resmi,


Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima

belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,


Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,

fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,


Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror

penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil

bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor

pertandingan yang disetujui bersama,


Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala

Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala

Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina,

India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah

Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,


Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat

terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur

Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula

pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta

terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,

dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai

saksi terang-terangan, 


Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam

kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di

tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.

1998

http://kepadapuisi.blogspot.com/2013/07/malu-aku-jadi-orang-indonesia_295.html


Kritik

I

Puisi Taufiq Ismail dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia terdiri atas 4 bait. Tiap bait terdiri atas 8 sampai 12 suku kata. Makna puisi Taufiq Ismail dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia terdapat bait I ada 18 baris, bait II ada 8 baris, bait III 55 baris, 16 baris, bait IV 8 baris, menceritakan Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga Ke Wisconsin aku dapat beasiswa. Sembilan belas lima enam itulah tahunnya. Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia. Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia. Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda. Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya, Whitefish Bay kampung asalnya. Kagum dia pada revolusi Indonesia. Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya. Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya. Dadaku busung jadi anak Indonesia. Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy Dan mendapat Ph.D. dari Rice University. Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army. Dulu dadaku tegap bila aku berdiri. Mengapa sering benar aku merunduk kini.


II

Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak. Hukum tak tegak, doyong berderak-derak. Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak. Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza. Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia. Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata Dan kubenamkan topi baret di kepala. Malu aku jadi orang Indonesia.

III

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu. Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang. curang susah dicari tandingan. Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara. Hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu. Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari. Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden, menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar orangtua mereka bersenang hati. Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan. Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak putus dilarang-larang. Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa. Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah. ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang. saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat. Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi. Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman. Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja, fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar. Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror. Penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil. Bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor pertandingan yang disetujui bersama. Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,


Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula pembantahan t
erang-terangan yang merupakan dusta. terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan, dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai saksi terang-terangan. Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak. Hukum tak tegak, doyong berderak-derak. Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak. Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza. Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia. Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata dan kubenamkan topi baret di kepala. Malu aku jadi orang Indonesia.


Puisi Taufiq Ismail dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia tersebut baik untuk dibaca namun, dalam puisi tersebut banyak kata yang berlebihan atau boros tetapi maknanya sama sehingga diulang-ulang. Puisi Taufiq Ismail dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” terdapat beberapa kritikan dalam puisi tersebut mengenai gaya bahasa juga terdapat kata seperti majas juga sedikit. Puisi tersebut mengajarkan sikap negatif karena di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja. Puisi tersebut jika dalam segi positif yaitu tidak boleh malu kepada negara Indonesia.

Esai

I

Puisi Taufiq Ismail dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia terdiri atas 4 bait. Tiap bait terdiri atas 8 sampai 12 suku kata. Makna puisi Taufiq Ismail dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia terdapat bait I ada 18 baris, bait II ada 8 baris, bait III ada 55 baris, 16 baris, bait IV ada 8 baris, menceritakan Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga Ke Wisconsin aku dapat beasiswa. Sembilan belas lima enam itulah tahunnya. Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia. Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia. Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda. Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya, Whitefish Bay kampung asalnya. Kagum dia pada revolusi Indonesia. Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya. Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya. Dadaku busung jadi anak Indonesia. Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy Dan mendapat Ph.D. dari Rice University. Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army. Dulu dadaku tegap bila aku berdiri. Mengapa sering benar aku merunduk kini.


II

Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak. Hukum tak tegak, doyong berderak-derak. Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak. Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza. Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia. Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata Dan kubenamkan topi baret di kepala. Malu aku jadi orang Indonesia.

III

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu. Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang. curang susah dicari tandingan. Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara. Hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu. Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari. Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden, menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar orangtua mereka bersenang hati. Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan. Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak putus dilarang-larang. Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa. Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah. ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang. saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat. Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi. Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman. Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja, fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar. Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror. Penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil. Bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor pertandingan yang disetujui bersama. Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,


     Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula pembantahan t
erang-terangan yang merupakan dusta. terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan, dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai saksi terang-terangan. Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak. Hukum tak tegak, doyong berderak-derak. Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak. Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza. Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia. Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata dan kubenamkan topi baret di kepala. Malu aku jadi orang Indonesia.

Puisi Taufiq Ismail dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia terdapat kelebihan dan kekurangan. Kelebihan puisi tersebut mudah dipahami dan sangat menarik untuk dibaca, karena isi puisi tersebut menceritakan di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata dan kubenamkan topi baret di kepala. Malu aku jadi orang Indonesia. Kekurangan puisi tersebut kata-katanya terlalu menyakiti orang dan menceritakan kehidupan. Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata dan kubenamkan topi baret di kepala malu aku jadi orang Indonesia.

Dari puisi Taufiq Ismail dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia  jika dikaitkan dengan kehidupan sekarang yaitu jangan sampai membuat malu aku jadi orang Indonesia.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar