Sabtu, 05 Juni 2021

Kritik/Esai cerpen "Setan Banteng" karya Seno Gumira Ajidarma


CERPEN KORAN MINGGU

Kompas

 

Kompas-Republika-Jawa Pos-Suara Merdeka-Koran Tempo-Media Indonesia dan Lainnya

CERPENKORAN TEMPOSENO GUMIRA AJIDARMA

Setan Banteng

December 22, 2018lakonhidup1

Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Koran Tempo, 22-23 Desember 2018)

Setan Banteng ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo

Yogyakarta, 1968

Pada jam istirahat, akan terlihat serombongan anak laki-laki membentuk kerumunan tersendiri.

“Siapa yang berani?” pemimpin rombongan itu bertanya.

Anak-anak kelas VI sekolah dasar itu hanya saling memandang, bahkan ada yang mundur seperti ada sesuatu yang mengancamnya, tetapi ada yang menjawab tantangan itu.

“Aku!”

Selalu begitu. Sejak masa kanak-kanak pun sudah terbagi: ada yang pemberani, ada yang selalu ketakutan, ada yang penuh perhitungan dan lihat-lihat dulu.

Lantas, dengan kapur putih, salah seorang dari anak-anak itu cukup menggambar di lantai, atau kalau tidak ada kapur bisa menggunakan patahan ranting, menggurat di tanah gambaran seperti ini:

Baca juga: GoKill – Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 10 Juni 2018)

“Sudah,” katanya kepada pemimpin rombongan.

Pemimpin rombongan itu menoleh ke arah anak pemberani tadi, sambil menunjuk ke arah gambar yang terbentuk di atas tanah berpasir di dekat tembok samping sekolah.

“Ayo!” katanya dengan nada perintah.

Anak yang badannya paling besar itu pun maju mendekati gambar, menekuk lutut, mengarahkan kepala ke arah gambar seperti mau bersujud. Namun anak itu tidak bersujud, ketika wajahnya mendekati gambar jari-jari tangannya membentuk lingkaran di depan kedua mata, seperti orang yang berpura-pura memegang teropong.

 

Masih seperti mau bersujud, tubuhnya menekuk dengan jari-jari tangan melingkar di depan mata sampai tepat berhadapan dengan gambar makhluk bertanduk yang dimaksudkan sebagai banteng itu. Melalui jari-jari tangannya yang melingkar di depan mata itu, terhubunglah matanya dengan mata banteng.

Semua anak terdiam memperhatikan. Sedetik, dua detik, tiga detik, empat detik, lima detik, enam detik…

Pada saat itulah aku, Setan Banteng, terpanggil dan berkelebat merasuki jiwanya. Ia bangkit, perlahan tapi penuh ancaman. Tangannya sekarang lurus kencang dan mengepal. Ketika menoleh, matanya sudah menyala, wajahnya merah, dan dari hidungnya keluarlah dengusan amarah. Ya, aku, Setan Banteng, telah merasuki jiwa anak itu dan mengubahnya jadi banteng, meski tubuhnya masih anak kecil.

Ia membalikkan tubuh sepenuhnya dengan mata tersorot tajam. Kakinya menyepak-nyepak ke belakang bergantian, lantas menyerang salah satu sisi kerumunan dengan kepala agak tertunduk, seperti pada kepala itu terdapat sepasang tanduk. Banteng itu menyeruduk.

Baca juga: Kami Naik Kereta Uap – Cerpen Yetti A. KA (Koran Tempo, 08-09 Desember 2018)

Kerumunan itu langsung bubar, dan semua anak berlari ke segala arah sambil tertawa-tawa melihat temannya telah kerasukan Setan Banteng. Sebagaimana layaknya banteng yang mengamuk, aku pun menyeruduk. Tiada lagi jiwa anak itu, yang ada hanya diriku, Setan Banteng yang menjelmakan dirinya sebagai banteng yang murka dalam permainan manusia.

Sebagaimana banteng, otaknya tidaklah secerdas manusia, meski manusia-manusia kecil yang masih ingusan sekalipun. Aku menyeruduk ke sana dan menyeruduk ke mari, karena setiap kali kukejar seorang anak yang berlari kencang sambil tertawa-tawa antara senang dan takut itu, cepat sekali dia menghilang, dan aku pun segera memburu anak-anak lain yang tampak di sekitarku.

Hiruk-pikuk dan riang gembira, begitulah permainan kanak-kanak yang memanfaatkan Setan Banteng ini, dan tentu aku menyeruduk tanpa pandang bulu. Segala sesuatu yang berada di jalur larinya anak itu kuseruduk saja tanpa kubeda-bedakan. Apakah itu anak-anak lain yang menonton dari kejauhan, anak-anak perempuan yang sedang main bèkel, ibu guru berkain kebaya yang sedang membawa map, bahkan ketika anak yang kukejar masuk ke ruang latihan paduan suara untuk keluar dari pintu lainnya, tetap kukejar juga dengan tangan lurus mengepal dan kepala yang seolah-olah memang ada tanduknya.

Aku pun tetap menyeruduk meski yang berada di jalur itu adalah para penjual es dawet, gulali yang bentuknya setelah ditiup menjadi bermacam-macam binatang, arum manis, maupun gambar umbul, karena anak yang kukejar dengan lincahnya memang sengaja melewatinya, agar aku menabrak mereka!

Segalanya berantakan. Anak perempuan menjerit-jerit meski tidak takut kepada apa pun, selain khawatir akan nasib kawan mereka yang kukejar maupun yang sedang kurasuki itu. Dengan tubuh yang agak lebih besar, anak yang kurasuki memang pantas menjadi banteng. Kedua bahunya menjadi tampak lebih kukuh, mata mendelik, wajah memerah, dan dengusnya sungguh-sungguh seperti banteng memburu lawan. Segalanya kuterabas!

Apabila kemudian semua orang sudah tidak dapat kulihat, karena memang semuanya menghindar dan bersembunyi, dan hanya tersisa dinding tembok sekolah yang kokoh, maka dengan sepenuh tenaga ke sanalah kepala anak sekolah dasar yang sesungguhnyalah tidak bertanduk ini menuju.

Baca juga: Kebun Binatang di Dasar Laut – Cerpen Lamia Putri Damayanti (Koran Tempo, 01-02 Desember 2018)

Tidak akan menjadi masalah bagiku jika kepala anak itu pecah. Sebagai setan, aku hanya akan melayang kembali ke langit para setan, bergabung dengan setan-setan lainnya, sampai ada lagi yang memanggil Setan Banteng demi permainan banteng mengamuk yang mengasyikkan, tetapi yang bisa sangat berbahaya ini.

Bagaimana kalau kepalanya pecah? Tentu darahnya abyor membentuk bunga merah darah di tembok. Kadang tampak indah seperti karya seni, tetapi tentu sebetulnya mengerikan-yang terpenting, ini bukanlah tanggung jawabku. Aku hanyalah Setan Banteng yang tidak berdaya menolak panggilan. Bahkan diciptakan untuk menerima panggilan itu! Apakah anak ini akan pecah kepalanya?

Namun seorang guru laki-laki mendadak muncul di belakangnya, dan menepuk punggung anak itu dengan sangat keras sebelum kepalanya membentur tembok. Anak itu pun terjatuh. Aku lepas dari tubuhnya, sebagaimana dengan cara itu tugasku dengan sendirinya berakhir.

“Hooooiii!” Guru itu berteriak dan memperlihatkan sikap marah, “Jangan main-main kalian! Ini berbahaya! Ngawur! Apa tidak ada permainan lain selain bermain dengan setan?”

Aku sudah pindah ke langit sebelah, tetapi tetap dapat kulihat anak-anak di tempat persembunyian yang menutupi mulutnya sambil menahan tawa.

Anak itu sendiri, yang tadinya tersungkur, berbalik dan mengusap mata bagaikan baru terbangun dari tidur. Guru, yang tampaknya mengerti belaka permainan semacam ini, mengangkatnya bangun dan merangkul bahunya.

Baca juga: Kitab Tipu Muslihat – Cerpen Ida Fitri (Koran Tempo, 24-25 November 2018)

Terdengar bel berbunyi.

“Ayo masuk kelas!” Teriaknya lagi, “Mau jadi ilmuwan macam apa kalian?”

Lantas suaranya merendah, seperti bicara untuk dirinya sendiri.

“Sejak kecil sudah bermain setan…”

https://lakonhidup.com/2018/12/22/setan-banteng/

 

Pondok Ranji – Katulampa, 17-18 Desember 2018.

Seno Gumira Ajidarma. Menulis fiksi maupun nonfiksi dan mengajar di sejumlah perguruan tinggi. Kini tergabung dalam Panajournal.com.

Kritik dan Esai Cerpen Setan Banteng

Cerpen Seno Gumira Ajidarma

1. Tema Cerpen  Setan Banteng karya Seno Gumira Ajidarma : menceritakan tentang anak laki-laki  kelas VI Sekolah Dasar SD yang sedang bermain setan banteng dengan menyeruduk semua anak-anak lain, ibu guru, anak permepuan, penjual dawet, kepala sekolah. Setan banteng tersebut marah jadi tidak peduli siapapun. Akhirnya ada seorang guru laki-laki yang mencoba menolong anak-anak tersebut supaya tidak bermain setan banteng tersebut karena membahayakan diri dan termasuk perbuatan tercela.

2. Tokoh Cerpen Setan Banteng karya Seno                Gumira Ajidarma :

    1. Anak laki-laki.                                                     

    2. Setan Banteng.

    3. Anak-anak lain.

    4. Anak Perempuan

    5. Ibu Guru

    6. Penjual es dawet.

    7. Kepala anak sekolah dasar

    8. Guru laki-laki.

3. Watak Cerpen Setan Banteng karya Seno                 Gumira Ajidarma : 

     1. Anak laki-laki bersifat keras kepala,                         pemberani.                         

    2. Setan Banteng bersifat jahat, keras kepala,              mudah  menyeruduk.

    3. Anak-anak lain dan anak-anak kelas VI                  sekolah dasar  bersifat baik, takut.

     4. Anak Perempuan bersifat baik, takut.      

     5. Ibu Guru bersifat baik, takut.

     6. Penjual es dawet bersifat baik, takut.

     7. Kepala anak Sekolah Dasar bersifat tegas,              baik.

      8. Guru laki-laki bersifat baik, tegas                              penyabar,  mudah  menolong.

4. Latar Cerpen Setan Banteng karya Seno                  Gumira Ajidarma:

1.     Latar waktu : pagi hari, siang hari.

2.  Latar tempat : di halaman sekolah dasar, ruang latihan paduan suara, di Sekolah Dasar (SD).

3.     Latar suasana : marah, sedih dan kecewa.

5. Alur Cerpen Setan Banteng karya Seno                  Gumira Ajidarma:

Alur pada cerita Setan Banteng karya Seno Gumira Ajidarma menggunakan alur mundur, karena ceritanya dari awal hingga akhir tidak berkelanjutan jadi cerpen tersebut rasa kekecewaan belum nampak jelas.

6. Gaya bahasa Cerpen Setan Banteng                        karya Seno Gumira Ajidarma :
Majas Retorika : 
Apakah anak ini akan pecah kepalanya?

Apa tidak ada permainan lain selain bermain dengan setan?”

7. Sudut pandang Cerpen Setan Banteng                    karya Seno Gumira Ajidarma:

  Pada cerpen Setan Banteng ini, penulis mengambil sudut pandang tidak langsung. Karena penulis menuliskan sebuah kisah atas apa yang dia dengar dari sebuah kejadian.

8. Amanat Cerpen Setan Banteng karya Seno            Gumira Ajidarma:

1.   Janganlah bermain Setan Banteng karena dapat membahayakan diri semua orang maupun semua anak Sekolah Dasar.

2. Jangan pernah bermain Setan Banteng karena jika marah langsung masuk ke tubuh anak yang lain tersebut dengan marah, menyereduk semua orang maupun anak lain dan hal tersebut merupakan perbuatan tercela.

Makna Cerpen Setan Banteng karya Seno Gumira Ajidarma menceritakan seorang anak laki-laki kelas VI Sekolah Dasar SD awalnya bermain Setan Banteng. Anak laki-laki kelas VI Sekolah Dasar SD tubuhnya dirasuki Setan Banteng karena anak tersebut tersebut badanya paling besar, pemberani dan menantang. Setan Banteng tersebut marah. Semua ibu guru, anak perempuan, penjual dawet, kepala sekolah,  maupun anak-anak lain kelas VI Sekolah Dasar (SD) takut, berlari karena setan banteng tersebut menyeruduk, tidak peduli siapa pun, tidak peduli apapun sampai-sampai semua barang sekolah pecah, berantakan. Guru laki-laki tersebut marah , lalu menyuruh anak-anak yang lain dan anak-laki-laki tersebut supaya tidak bermain Setan Banteng tersebut karena bisa membahayakan diri seseorang. Guru laki-laki tersebut menyuruh anak-anak lain masuk ke dalam kelas. Janganlah sesekali mencoba bermain Setan Banteng tersebut karena bisa membahayakan diri seseorang, ibu guru, anak perempuan, penjual dawet, kepala sekolah,  maupun anak-anak lain kelas VI Sekolah Dasar (SD).

Kritik Cerpen Setan Banteng

Cerpen Seno Gumira Ajidarma

 

Pada jam istirahat ada segerombolan anak laki-laki sedang bermain Setan Banteng nampaknya anak sekolah dasar kelas VI SD melihat permainan tersebut, bahkan ada yang mundur seperti ada sesuatu yang mengancamnya, tetapi ada yang menjawab tantangan itu. Ada anak laki-laki yang bertubuh besar, gagah, berani lalu setan banteng tersebut merasuk ke dalam tubuh anak tersebut. Anak itu tampak tanganya menggegam, matanya berwarna merah melotot ke arah pandangan anak-anak lain. Anak yang badannya paling besar itu pun maju mendekati gambar, menekuk lutut, mengarahkan kepala ke arah gambar seperti mau bersujud. Namun anak itu tidak bersujud, ketika wajahnya mendekati gambar jari-jari tangannya membentuk lingkaran di depan kedua mata, seperti orang yang berpura-pura memegang teropong.

Semua anak terdiam memperhatikan. Sedetik, dua detik, tiga detik, empat detik, lima detik, enam detik…

Pada saat itulah aku, Setan Banteng, terpanggil dan berkelebat merasuki jiwanya. Ia bangkit, perlahan tapi penuh ancaman. Tangannya sekarang lurus kencang dan mengepal. Ketika menoleh, matanya sudah menyala, wajahnya merah, dan dari hidungnya keluarlah dengusan amarah. Ya, aku, Setan Banteng, telah merasuki jiwa anak itu dan mengubahnya jadi banteng, meski tubuhnya masih anak kecil.

Ia membalikan tubuh, matanya melotot. Kaki banteng tersebut supaya ada yang tunduk dari kerumunan anak-anak lain. Banteng itu menyeruduk. Kerumunan anak-anak lain langsung bubar dan semua anak-anak yang lain berlari ketika melihat setan banten tersebut.

Setan Banteng tersebut yang berada di dalam tubuh si anak tersebut marah dan menyeruduk ke anak-anak lain. mulai dari anak perempuan, bu guru yang membawa map itu anak yang sedang dirasuki setan banten tersebut menyeruduk hingga masuk ke ruang latihan paduan suara masih menyeruduk ke anak anak lain.

 Setan Banteng tersebut menyeruduk hingga ke penjual dawet, gulali manis. Anak-anak yang lain memang melewati penjual si dawet tersebut supaya banteng tersebut melihat dan menabrak. Setan Banteng itu marah. Si Setan Bateng masih saja menyeruduk. 

 Anak perempuan menjerit-jerit meski tidak takut kepada apa pun, selain khawatir akan nasib kawan mereka yang kukejar maupun yang sedang kurasuki itu. Dengan tubuh yang agak lebih besar, anak yang kurasuki memang pantas menjadi banteng. Kedua bahunya menjadi tampak lebih kukuh, mata mendelik, wajah memerah, dan dengusnya sungguh-sungguh seperti banteng memburu lawan. Segalanya kuterabas!

Setan Banteng tetap juga menyeruduk kepada anak-anak yang lain berlari hingga yang tersisa dinding-ding tembok sekolah. Bangunan sekolah pun ada yang pecah, berantakan karena setan banteng tersebut. Setan banteng tersebut menyeruduk tidak peduli apapun hingga ada kepala sekola sekolah dasar sd masih sama saja banteng tersebut menang. Tidak akan menjadi masalah bagiku jika kepala anak itu pecah. Sebagai setan, aku hanya akan melayang kembali ke langit para setan, bergabung dengan setan-setan lainnya, sampai ada lagi yang memanggil Setan Banteng demi permainan banteng mengamuk yang mengasyikkan, tetapi yang bisa sangat berbahaya ini.

Bagaimana kalau kepalanya pecah? Tentu darahnya abyor membentuk bunga merah darah di tembok. Kadang tampak indah seperti karya seni, tetapi tentu sebetulnya mengerikan-yang terpenting, ini bukanlah tanggung jawabku. Aku hanyalah Setan Banteng yang tidak berdaya menolak panggilan. Bahkan diciptakan untuk menerima panggilan itu! Apakah anak ini akan pecah kepalanya?

Namun seorang guru laki-laki mendadak muncul di belakangnya, dan menepuk punggung anak itu dengan sangat keras sebelum kepalanya membentur tembok. Anak itu pun terjatuh. Aku lepas dari tubuhnya, sebagaimana dengan cara itu tugasku dengan sendirinya berakhir.

“Hooooiii!” Guru itu berteriak dan memperlihatkan sikap marah, “Jangan main-main kalian! Ini berbahaya! Ngawur! Apa tidak ada permainan lain selain bermain dengan setan?”

Ada guru laki-laki yang mencoba menenangkan. Guru tersebut mencoba menenangkan murid-murid yang berkeliaran, berlari untuk segera masuk ke dalam kelas. Guru tersebut marah kepada anak laki-laki yang bertubuh besar dan anak-anak yang lain supaya tidak bermain setan banteng lagi. Setan banteng tersebut jika sudah marah dapat membahayakan diri semua orang maupun anak yang lain. permainan setan banteng tersebut merupakan perbuatan tercela.

Anak itu sendiri, yang tadinya tersungkur, berbalik dan mengusap mata bagaikan baru terbangun dari tidur. Guru, yang tampaknya mengerti belaka permainan semacam ini, mengangkatnya bangun dan merangkul bahunya. Guru tersebut menyuruh anak-anak lain juga masuk ke dalam kelas semua.

Makna Cerpen Setan Banteng kaorya Seno Gumira Ajidarma menceritakan seorang anak laki-laki kelas VI Sekolah Dasar SD awalnya bermain Setan Banteng. Anak laki-laki kelas VI Sekolah Dasar SD tubuhnya dirasuki Setan Banteng karena anak tersebut tersebut badanya paling besar, pemberani dan menantang. Setan Banteng tersebut marah. Semua ibu guru, anak perempuan, penjual dawet, kepala sekolah,  maupun anak-anak lain kelas VI Sekolah Dasar (SD) takut, berlari karena setan banteng tersebut menyeruduk, tidak peduli siapa pun, tidak peduli apapun sampai-sampai semua barang sekolah pecah, berantakan. Guru laki-laki tersebut marah , lalu menyuruh anak-anak yang lain dan anak-laki-laki tersebut supaya tidak bermain Setan Banteng tersebut karena bisa membahayakan diri seseorang. Guru laki-laki tersebut menyuruh anak-anak lain masuk ke dalam kelas. Janganlah sesekali mencoba bermain Setan Banteng tersebut karena bisa membahayakan diri seseorang, ibu guru, anak perempuan, penjual dawet, kepala sekolah,  maupun anak-anak lain kelas VI Sekolah Dasar (SD).

Cerpen Setan Banteng karya Seno Gumira Ajidarma tersebut akhir cerita berupa dialog tidak berupa cerita yang jelas. Gaya bahasa tersebut terdaaat majas sedikit.  Cerpen tersebut baik untuk dibaca namun, bagian akhir cerita tersebut tidak digambarkan secara lebih lanjut mengenai rasa kekecewaan yang diterima oleh Setan Banteng tersebut. Dari segi negatif cerpen tersebut menceritakan permainan setan banteng yang merugikan dan meresahkan karena menyeruduk ke anak lain-lain sehingga berbahaya kepada semua orang. Dari segi positif cerpen tersebut mudah dipahami, sangat menarik dan tidak boleh meniru permainan setan banteng tersebut karena perbuatan tercela.

Esai Cerpen Setan Banteng

Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Cerpen Setan Banteng karya Seno Gumira Ajidarma menceritakan pada jam istirahat ada segerombolan anak laki-laki sedang bermain Setan Banteng nampaknya Anak sekolah dasar kelas VI SD melihat permainan tersebut, bahkan ada yang mundur seperti ada sesuatu yang mengancamnya, tetapi ada yang menjawab tantangan itu.

“Aku!”

Pemimpin rombongan itu menoleh ke arah anak pemberani tadi, sambil menunjuk ke arah gambar yang terbentuk di atas tanah berpasir di dekat tembok samping sekolah.

“Ayo!” katanya dengan nada perintah.

Ada anak laki-laki yang bertubuh besar, gagah, berani lalu setan banteng tersebut merasuk ke dalam tubuh anak tersebut. Anak itu tampak tanganya menggegam, matanya berwarna merah melotot ke arah pandangan anak-anak lain. Anak yang badannya paling besar itu pun maju mendekati gambar, menekuk lutut, mengarahkan kepala ke arah gambar seperti mau bersujud. Namun anak itu tidak bersujud, ketika wajahnya mendekati gambar jari-jari tangannya membentuk lingkaran di depan kedua mata, seperti orang yang berpura-pura memegang teropong.

Semua anak terdiam memperhatikan. Sedetik, dua detik, tiga detik, empat detik, lima detik, enam detik…

Pada saat itulah aku, Setan Banteng, terpanggil dan berkelebat merasuki jiwanya. Ia bangkit, perlahan tapi penuh ancaman. Tangannya sekarang lurus kencang dan mengepal. Ketika menoleh, matanya sudah menyala, wajahnya merah, dan dari hidungnya keluarlah dengusan amarah. Ya, aku, Setan Banteng, telah merasuki jiwa anak itu dan mengubahnya jadi banteng, meski tubuhnya masih anak kecil.

Ia membalikan tubuh, matanya melotot. Kaki banteng tersebut supaya ada yang t9unduk dari kerumunan anak-anak lain. Banteng itu menyeruduk. Kerumunan anak-anak lain langsung bubar dan semua anak-anak yang lain berlari ketika melihat setan banten tersebut.

Setan banteng tersebut yang berada di dalam tubuh si anak tersebut marah dan menyeruduk ke anak-anak lain. mulai dari anak perempuan, bu guru yang membawa map itu anak yang sedang dirasuki setan banten tersebut menyeruduk hingga masuk ke ruang latihan paduan suara masih menyeruduk ke anak anak lain.

 Setan banteng tersebut menyeruduk hingga ke penjual dawet, gulali manis. Anak-anak yang lain memang melewati penjual si dawet tersebut supaya banteng tersebut melihat dan menabrak. Setan Banteng itu marah. Si Setan Bateng masih saja menyeruduk. 

 Anak perempuan menjerit-jerit meski tidak takut kepada apa pun, selain khawatir akan nasib kawan mereka yang kukejar maupun yang sedang kurasuki itu. Dengan tubuh yang agak lebih besar, anak yang kurasuki memang pantas menjadi banteng. Kedua bahunya menjadi tampak lebih kukuh, mata mendelik, wajah memerah, dan dengusnya sungguh-sungguh seperti banteng memburu lawan. Segalanya kuterabas!

Setan banteng tetap juga menyeruduk kepada anak-anak yang lain berlari hingga yang tersisa dinding-ding tembok sekolah. Bangunan sekolah pun ada yang pecah, berantakan karena setan banteng tersebut. Setan banteng tersebut menyeruduk tidak peduli apapun hingga ada kepala sekolah sekolah dasar SD masih sama saja banteng tersebut menang. Tidak akan menjadi masalah bagiku jika kepala anak itu pecah. Sebagai setan, aku hanya akan melayang kembali ke langit para setan, bergabung dengan setan-setan lainnya, sampai ada lagi yang memanggil Setan Banteng demi permainan banteng mengamuk yang mengasyikkan, tetapi yang bisa sangat berbahaya ini.

Bagaimana kalau kepalanya pecah? Tentu darahnya abyor membentuk bunga merah darah di tembok. Kadang tampak indah seperti karya seni, tetapi tentu sebetulnya mengerikan-yang terpenting, ini bukanlah tanggung jawabku. Aku hanyalah Setan Banteng yang tidak berdaya menolak panggilan. Bahkan diciptakan untuk menerima panggilan itu! Apakah anak ini akan pecah kepalanya?

Namun seorang guru laki-laki mendadak muncul di belakangnya, dan menepuk punggung anak itu dengan sangat keras sebelum kepalanya membentur tembok. Anak itu pun terjatuh. Aku lepas dari tubuhnya, sebagaimana dengan cara itu tugasku dengan sendirinya berakhir.

“Hooooiii!” Guru itu berteriak dan memperlihatkan sikap marah, “Jangan main-main kalian! Ini berbahaya! Ngawur! Apa tidak ada permainan lain selain bermain dengan setan?”

Ada guru laki-laki yang mencoba menenangkan. Guru tersebut mencoba menenangkan murid-murid yang berkeliaran, berlari untuk segera masuk ke dalam kelas. Guru tersebut marah kepada anak laki-laki yang bertubuh besar dan anak-anak yang lain supaya tidak bermain setan banteng lagi. Setan banteng tersebut jika sudah marah dapat membahayakan diri semua orang maupun anak yang lain. permainan setan banteng tersebut merupakan perbuatan tercela.

Anak itu sendiri, yang tadinya tersungkur, berbalik dan mengusap mata bagaikan baru terbangun dari tidur. Guru, yang tampaknya mengerti belaka permainan semacam ini, mengangkatnya bangun dan merangkul bahunya. Guru tersebut menyuruh anak-anak lain juga masuk ke dalam kelas semua.

Makna Cerpen Setan Banteng karya Seno Gumira Ajidarma menceritakan seorang anak laki-laki kelas VI Sekolah Dasar SD awalnya bermain Setan Banteng. Anak laki-laki kelas VI Sekolah Dasar SD tubuhnya dirasuki Setan Banteng karena anak tersebut tersebut badanya paling besar, pemberani dan menantang. Setan Banteng tersebut marah. Semua ibu guru, anak perempuan, penjual dawet, kepala sekolah,  maupun anak-anak lain kelas VI Sekolah Dasar (SD) takut, berlari karena setan banteng tersebut menyeruduk, tidak peduli siapa pun, tidak peduli apapun sampai-sampai semua barang sekolah pecah, berantakan. Guru laki-laki tersebut marah , lalu menyuruh anak-anak yang lain dan anak-laki-laki tersebut supaya tidak bermain Setan Banteng tersebut karena bisa membahayakan diri seseorang. Guru laki-laki tersebut menyuruh anak-anak lain masuk ke dalam kelas. Janganlah sesekali mencoba bermain Setan Banteng tersebut karena bisa membahayakan diri seseorang, ibu guru, anak perempuan, penjual dawet, kepala sekolah,  maupun anak-anak lain kelas VI Sekolah Dasar (SD).

Cerpen Setan Banteng karya Seno Gumira Ajidarma terdapat kelebihan dan kekurangan. Kelebihan cerpen tersebut mudah dipahami dan sangat menarik untuk dibaca, karena isi puisi tersebut menceritakan permainan setan banteng yang begitu meresahkan, karena setan banteng tersebut menyeruduk dan mengganggu anak-anak lain. Kekurangan cerpen tersebut kata-katanya terlalu menyakiti orang dan menceritakan permainan setan banteng merupakan permainan perbuatan tercela karena berdampak pada diri anak-anak yang lain.

Dari cerpen Setan Banteng karya Seno Gumira Ajidarma jika dikaitkan dengan kehidupan sekarang yaitu jangan pernah bermain setan banteng karena permainan tersebut bisa merasuki ke dalam tubuh seseorang seperti halnya setan.  permainan tersebut merupakan perbuatan tercela karena bisa menyeruduk, mengganggu, meresahkan kepada anak-anak lain sehingga bisa berdampak pada kesehatan diri anak-anak yang lain.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar